Tuesday, September 30, 2008

PROSEDUR PEMERIKSAAN LABORATORIUM

1.1. Latar Belakang

Prosedur dan pemeriksaan khusus dalam keperawatan merupakan bagian dari tindakan untuk mengatasi masalah kesehatan yang dilaksanakan secara tim, perawat melakukan fungsi kolaboratif dalam memberikan tindakan.
Hasil suatu pemeriksaan laboratorium sangat penting dalam membantu diagnosa, memantau perjalanan penyakit serta menentukan prognosa. Karena itu perlu diketahui faktor yang mempengaruhi hasil pemeriksaan laboratorium. Terdapat 3 faktor utama yang dapat mengakibatkan kesalahan hasil laboratorium yaitu :

1. Faktor Pra instrumentasi : sebelum dilakukan pemeriksaan.
2. Faktor Instrumentasi : saat pemeriksaan ( analisa ) sample.
3. Faktor Pasca instrumentasi : saat penulisan hasil pemeriksaan.
Pada tahap prainstrumentasi sangat penting diperlukan kerjasama antara petugas , pasien dan dokter. Karena tanpa kerja sama yang baik akan mengganggu /mempengaruhi hasil pemeriksaan laboratorium. Yang termasuk dalam tahapan pra instrumentasi meliputi :
1. Pemahaman instruksi dan pengisian formulir laboratorium.
2. Persiapan penderita.
3. Persiapan alat yang akan dipakai.
4. Cara pengambilan sample.
5. Penanganan awal sampel ( termasuk pengawetan ) & transportasi.

1.2. Tujuan Penulisan
1.2.1. Tujuan Umum
Untuk memperoleh informasi tentang klien, penyakit, dan kebutuhan klien serta meningkatkan kemampuan dalam penyusunan dan penyajian laporan sesuai dengan pengalaman nyata dilapangan serta melaksanakan pendokumentasian hasil pemeriksaan klien.


1.2.2. Tujuan Khusus
1.2.2.1. Mahasiswa mampu memahami pemeriksaan laboratorium pada pasien yang berkunjung ke Puskesmas Panarung Palangka Raya.
1.2.2.2. Mahasiswa mampu mendokumentasikan hasil pemeriksaan laboratorium pada pasien yang berkunjung di pelayanan kesehatan Puskesmas Panarung Palangka Raya.
1.2.2.3. Mahasiswa mampu mengindentifikasi kesenjangan yang terjadi antara teori dengan pelaksanaan pemeriksaan dan pendokumentasian pemeriksaan laboratorium.

1.3. Batasan masalah
Pada laporan ini hanya membahas tentang pengertian, tujuan, prosedur pemeriksaan dan hasil pemeriksaan laboratorium.

1.4. Metode Penulisan
1.4.1. Metode Pembuatan Laporan Studi Kasus
Metode yang digunakan adalah deskriptif dengan pemaparan kasus menggunakan pendekatan proses keperawatan.
1.4.2. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dengan cara wawancara dan observasi hasil pemeriksaan fisik dan anamnesa perawat dan dokter.
1.3.3. Metode kepustakaan dan Internet
Pengumpulan data tentang prosedur dan tujuan pemeriksaan laboratorium diambil dari buku – buku dan situs website di internet.



BAB 2
TINJAUAN TEORI




2.1. Pengertian
Pemeriksan laboratorium adalah suatu tindakan dan prosedur pemeriksaan khusus dengan mengambil bahan/sample dari penderita, dapat berupa urine (air kencing), darah, sputum (dahak), atau sample dari hasil biopsy (www.dokter.indo.net.id.).

2.2. Tujuan
1. Mendeteksi penyakit
2. Menentukan risiko
3. Memantau perkembangan penyakit
4. Memantau pengobatan dan lain-lain
5. Mengetahui ada tidaknya kelainan/penyakit yang banyak dijumpai dan potensial membahayakan

2.3. Prosedur pra Instrumentasi
Pada tahap ini sangat penting diperlukan kerjasama antara petugas , pasien dan dokter. Hal ini karena tanpa kerjasama yang baik akan mengganggu /mempengaruhi hasil pemeriksaan laboratorium menurut www.dokter.indo.net.id.
Yang termasuk dalam tahapan pra instrumentasi meliputi :
1. Pemahaman instruksi dan pengisian formulir laboratorium.
2. Persiapan penderita
3. Persiapan alat yang akan dipakai
4. Cara pengambilan sample
5. Penanganan awal sampel ( termasuk pengawetan ) & transportasi.

Pemahaman instruksi dan pengisian formulir
Pada tahap ini perlu diperhatikan benar, apa yang diperintahkan oleh dokter dan dipindahkan ke dalam formulir. Hal ini penting untuk menghindari pengulangan pemeriksaan yang tidak penting, membantu persiapan pasien sehingga tidak merugikan pasien dan menyakiti pasien. Pengisian formulir dilakukan secara lengkap meliputi identitas pasien : nama, alamat / ruangan, umur, jenis kelamin, data klinis / diagnosa, dokter pengirim, tanggal dan kalau diperlukan pengobatan yang sedang diberikan. Hal ini penting untuk menghindari tertukarnya hasil ataupun dapat membantu intepretasi hasil terutama pada pasien yang mendapat pengobatan khusus dan jangka panjang.

Persiapan penderita
Puasa
Dua jam setelah makan sebanyak kira-kira 800 kalori akan mengakibatkan peningkatan volume plasma, sebaliknya setelah berolahraga volume plasma akan berkurang. Perubahan volume plasma akan mengakibatkan perubahan susunan kandungan bahan dalam plasma dan jumlah sel / µl darah.
Obat
Penggunaan obat dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan hematologi misalnya : asam folat, Fe, vitamin B12 dll. Pada pemberian kortikosteroid akan menurunkan jumlah eosinofil, sedang adrenalin akan meningkatkan jumlah leukosit dan trombosit. Pemberian transfusi darah akan mempengaruhi komposisi darah sehingga menyulitkan pembacaan morfologi sediaan apus darah tepi maupun penilaian hemostasis. Antikoagulan oral atau heparin mempengaruhi hasil pemeriksaan hemostasis.
Waktu pengambilan
Umumnya bahan pemeriksaan laboratorium diambil pada pagi hari tertutama pada pasien rawat inap. Kadar beberapa zat terlarut dalam urin akan menjadi lebih pekat pada pagi hari sehingga lebih mudah diperiksa bila kadarnya rendah. Kecuali ada instruksi dan indikasi khusus atas perintah dokter.
Selain itu juga ada pemeriksaan yang tidak melihat waktu berhubung dengan tingkat kegawatan pasien dan memerlukan penanganan segera disebut pemeriksaan sito. Beberapa parameter hematologi seperti jumlah eosinofil dan kadar besi serum menunjukkan variasi diurnal, hasil yang dapat dipengaruhi oleh waktu pengambilan. Kadar besi serum lebih tinggi pada pagi hari dan lebih rendah pada sore hari dengan selisih 40-100 µg/dl. Jumlah eosinofil akan lebih tinggi antara jam 10 pagi sampai malam hari dan lebih rendah dari tengah malam sampai pagi.
Posisi pengambilan
Posisi berbaring kemudian berdiri mengurangi volume plasma 10 % demikian pula sebaliknya. Hal lain yang penting pada persiapan penderita adalah menenangkan dan memberitahu apa yang akan dikerjakan sebagai sopan santun atau etika sehingga membuat penderita atau keluarganya tidak merasa asing atau menjadi obyek.

Persiapan alat
Dalam mempersiapkan alat yang akan digunakan selalu diperhatikan instruksi dokter sehingga tidak salah persiapan dan berkesan profesional dalam bekerja.
Pengambilan darah
Yang harus dipersiapkan antara lain : kapas alkohol 70 %, karet pembendung (torniket) spuit sekali pakai umumnya 2.5 ml atau 5 ml, penampung kering bertutup dan berlabel. Penampung dapat tanpa anti koagulan atau mengandung anti koagulan tergantung pemeriksaan yang diminta oleh dokter. Kadang-kadang diperlukan pula tabung kapiler polos atau mengandung antikoagulan.
Penampungan urin
Digunakan botol penampung urin yang bermulut lebar, berlabel, kering, bersih, bertutup rapat dapat steril ( untuk biakan ) atau tidak steril. Untuk urin kumpulan dipakai botol besar kira-kira 2 liter dengan memakai pengawet urin.
Penampung khusus
Biasanya diperlukan pada pemeriksaan mikrobiologi atau pemeriksaan khusus yang lain. Yang penting diingat adalah label harus ditulis lengkap identitas penderita seperti pada formulir termasuk jenis pemeriksaan sehingga tidak tertukar.

Cara pengambilan sample
Pada tahap ini perhatikan ulang apa yang harus dikerjakan, lakukan pendekatan dengan pasien atau keluarganya sebagai etika dan sopan santun, beritahukan apa yang akan dikerjakan. Selalu tanyakan identitas pasien sebelum bekerja sehingga tidak tertukar pasien yang akan diambil bahan dengan pasien lain. Karena kepanikan pasien akan mempersulit pengambilan darah karena vena akan konstriksi. Darah dapat diambil dari vena, arteri atau kapiler. Syarat mutlak lokasi pengambilan darah adalah tidak ada kelainan kulit di daerah tersebut, tidak pucat dan tidak sianosis. Lokasi pengambilan darah vena : umumnya di daerah fossa cubiti yaitu vena cubiti atau di daerah dekat pergelangan tangan. Selain itu salah satu yang harus diperhatikan adalah vena yang dipilih tidak di daerah infus yang terpasang / sepihak harus kontra lateral.
Darah arteri dilakukan di daerah lipat paha (arteri femoralis) atau daerah pergelangan tangan (arteri radialis). Untuk kapiler umumnya diambil pada ujung jari tangan yaitu telunjuk, jari tengah atau jari manis dan anak daun telinga. Khusus pada bayi dapat diambil pada ibu jari kaki atau sisi lateral tumit kaki.
a) Cara pengambilan darah kapiler :
 dilakukan tindakan aseptic dengan alkohol 70 %, biarkan kering
 lakukan tusukan dengan arah memotong garis sidik jari
 tetesan pertama dibuang dengan menggunakan kapas kering
 selanjutnya dapat diambil dengan menggunakan tabung kapiler.
b) Cara pengambilan darah vena :
 Lakukan pembendungan dengan torniket
 Dilakukan tindakan aseptic dengan alkohol 70 % dengan arah putaran melebar menjauhi titik tengah, biarkan kering
 Ambil spuit dengan arah mulut jarum dan skala menghadap ke atas
 Arah tusukan jarum membentuk sudut sekitar 10-30° terhadap permukaan kulit.
 Bila sudah terkena venanya, isap pelan-pelan darah supaya tidak terjadi hemolisis - cabut jarum, dengan sebelumnya melepas dan menekan daerah tusukan.
 Jarum dilepas kemudian alirkan darah ke dalam penampung melalui dinding penampung perlahan-lahan sehingga tidak hemolisis.
 Bila penampung menggunakan antikoagulan segera campur darah dengan mengocok tabung seperti angka 8.
Untuk pemeriksaan hematologi biasanya digunakan antikoagulan Na2EDTA / K2EDTA, sedang untuk hemostasis digunakan Na sitrat 0.109 M. Jangan melakukan pembendungan terlalu lama karena akan terjadi perubahan komposisi plasma karena terjadi hemokonsentrasi, selain itu pada darah kapiler jangan menekan-nekan ujung jari karena akan terbawa cairan jaringan.
c) Cara pengambilan darah arteri :
Siapkan semprit yang telah dibasahi antikoagulan heparin steril
tanda-tanda pembuluh darah arteri /nadi adalah terabanya denyutan yang tidak ditemukan pada vena
bila telah ditemukan arteri, lakukan tindakan asepsis dengan alkohol 70 % dengan 2 jari telunjuk dan jari tengah lakukan fiksasi arteri tersebut
kemudian lakukan tusukan / pungsi tegak lurus ( karena letaknya dalam ) sampai terkena arteri tersebut. Bila arteri telah tercapai akan tampak darah yang akan mengalir sendiri oleh tekanan darah ke dalam semprit yang telah mengandung heparin. Cabut semprit dan segera ditutup dengan gabus sehingga tidak terkena udara. Goyangkan semprit sehingga darah tercampur rata dan tidak membeku. Tekan bekas pungsi dengan baik sampai tidak tampak darah mengalir. Hal ini tidak sama dengan vena karena dengan vena lebih mudah membeku daripada arteri.
Segera kirim ke laboratorium ( sito )
Perbedaan darah arteri dan vena :
1) Lokasi tusukan lebih dalam
2) Teraba denyutan yang tidak ada pada vena
3) Warna darah lebih merah terang dibandingkan vena
4) Darah akan mengalir sendiri ke dalam semprit.

Penanganan awal sampel & transportasi
Pada tahap ini sangat penting diperhatikan karena sering terjadi sumber kesalahan ada disini. Yang harus dilakukan :
1) Catat dalam buku expedisi dan cocokan sampel dengan label dan formulir. Kalau sistemnya memungkinkan dapat dilihat apakah sudah terhitung biayanya (lunas).
2) Jangan lupa melakukan homogenisasi pada bahan yang mengandung antikoagulan
3) Segera tutup penampung yang ada sehingga tidak tumpah
4) Segera dikirim ke laboratorium karena tidak baik melakukan penundaan
5) Perhatikan persyaratan khusus untuk bahan tertentu seperti darah arteri untuk analisa gas darah, harus menggunakan suhu 4-8° C dalam air es bukan es batu sehingga tidak terjadi hemolisis. Harus segera sampai ke laboratorium dalam waktu sekitar 15-30 menit. Perubahan akibat tertundanya pengiriman sampel sangat mempengaruhi hasil laboratorium. Sebagai contoh penundaan pengiriman darah akan mengakibatkan penurunan kadar glukosa, peningkatan kadar kalium. Hal ini dapat mengakibatkan salah pengobatan pasien. Pada urin yang ditunda akan terjadi pembusukan akibat bakteri yang berkembang biak serta penguapan bahan terlarut misalnya keton. Selain itu nilai pemeriksaan hematologi juga berubah sesuai dengan waktu. Tabel berikut menggambarkan batas waktu maksimum yang diijinkan :
- Kadar hemoglobin stabil
- Jumlah leukosit < align="center">BAB 3
TINJAUAN KASUS



3.1. Data pasien
Nama : Ny. R
Umur : 38 tahun
Alamat : Jln. Meranti No. 138
Keluhan : badan terasa lemah, pusing, kalau berdiri terasa mau pingsan.
Hasil Pemeriksaan Laboratorium : Hb 9,6 gr/dL.

3.2. Prosedur Pemeriksaan
a) Penerimaan pasien
 Menerima pasien di ruang laboratorium dan mempersilahkan pasien untuk duduk dihadapan pemeriksa.
 Meminta status pengantar pasien dari dokter yang merujuk untuk pemeriksaan laboratorium.
 Membaca pengantar pemeriksaan.
 Menanyakan keluhan pasien.
 Menanyakan Kartu Identitas Penduduk pasien, untuk tujuan pendokumentasian.
 Mempersiapkan alat dekat pasien.
 Memberitahukan pasien bahwa prosedur memerlukan pengambilan sample darah dengan menggunakan spuit 3 cc, dan jarum akan ditusukan pada pembuluh darah di tangan pasien.
 Membebaskan area yang akan di ditusukkan jarum suntik dari kain/lengan baju, meluruskan tangan pasien diatas meja pemeriksa.
 Pemeriksa mencuci tangan.
 Selanjutnya masuk dalam prosedur tindakan pemeriksaan haemoglobin cara Sahli.


3.3. Prosedur pemeriksaan haemoglobin cara Sahli
3.4. Pendokumentasian




BAB 4
PEMBAHASAN




4.1. Latar Belakang
Pada pendahuluan telah dikemukakan bahwa pemeriksaan laboratorium merupakan prosedur pemeriksaan khusus yang dilakukan pada pasien untuk membantu menegakan diagnosis.
Prosedur dan pemeriksaan khusus dalam keperawatan merupakan bagian dari tindakan untuk mengatasi masalah kesehatan yang dilaksanakan secara tim, perawat melakukan fugsi kolaboratif dalam memberikan tindakan.
Hasil suatu pemeriksaan laboratorium sangat penting dalam membantu diagnosa, memantau perjalanan penyakit serta menentukan prognosa daari suatu penyakit/keluhan pasien.

4.2. Tinjauan teori
Sekumpulan pemeriksaan laboratorium yang dirancang untuk tujuan tertentu misalnya untuk mendeteksi penyakit, menentukan risiko, memantau perkembangan penyakit, memantau pengobatan, dan lain-lain. Mengetahui ada tidaknya kelainan/penyakit yang banyak dijumpai dan potensial membahayakan.
Pemeriksaan dasar yang juga merupakan proses General medical Check Up (GMC) meliputi : Hematologi Rutin, Urine Rutin, Faeces Rutin, Bilirubin Total, Bilirubin Direk, GOT, GPT, Fosfatase Alkali, Gamma GT, Protein Elektroforesis, Glukosa Puasa, Urea N, HBsAg, Kreatinin, Asam Urat, Cholesterol Total, Trigliserida, Cholesterol HDL, Cholesterol LDL-Direk.
Namun pada pemeriksaan laboratorium Puskesmas terdapat perbedaan dengan teori laboratorium Prodia yang merupakan laboratorium kesehatan swasta terbesar di Indonesia dan merupakan pusat rujukan General Medical Check Up (GMC) yang menggunakan pemeriksaan dengan teknologi yang cukup canggih dan modern. Di Puskesmas pemeriksaan umumnya dilakukan secara sederhana, meskipun demikian laboratorium puskesmas sudah dilengkapi dengan peralatan yang memadai dengan dilengkapi tenaga pemeriksa yang spesialis di bidang analis laboratorium, sehingga mutu hasil pemeriksaanpun tidak perlu diragukan lagi.
4) Pemeriksaan urine
 Derajat keasaman/pH
 Protein
 Bilirubin
 Glukosa
 HCG test/tes kehamilan
5) Pemeriksaan darah
 Haemoglobin/Hb cara Sahli
 Golongan darah
 Widal
 Malaria
6) Pemeriksaan sputum/dahak
 BTA (basil tahan asam).

Dalam pemeriksaan kesalahan pemeriksaan mungkin saja terjadi, sehingga akan mempengaruhi hasil pemeriksaan laboratorium.Terdapat 3 faktor utama yang dapat mengakibatkan kesalahan hasil laboratorium yaitu :
1) Faktor Pra instrumentasi : sebelum dilakukan pemeriksaan.
2) Faktor Instrumentasi : saat pemeriksaan ( analisa ) sample.
3) Faktor Pasca instrumentasi : saat penulisan hasil pemeriksaan.

4.3. Tinjauan Kasus
Nama : Ny. R
Umur : 38 tahun
Alamat : Jln. Meranti No. 138
Keluhan : badan terasa lemah, pusing, kalau berdiri terasa mau pingsan.
Hasil Pemeriksaan Laboratorium : Hb 9,6 gr/dL.
Dari data di atas dapat di dilihat bahwa Ny. S dengan keluhan ; badan terasa lemah, pusing, kalau berdiri terasa mau pingsan dicurigai menderita anemia dan dengan dilakukan pemeriksaan laboratorium dengan hasil Hb 9,6 gr/dL dapat didefinisikan Ny. S menderita anemia.
Untuk pencatatan dan pelaporan ditulis dalam buku pendokumentasian ruangan laboratorium dan lembar pengantar pasien untuk diserahkan kembali kepada dokter pemeriksa dengan tujuan terapi lanjutan atau pengobatan yang tepat pada kebutuhan pasien saat itu.
Dengan hasil pemeriksaan laboratorium inilah diagnosis dari keluhan – keluhan pasien ditegakkan, sehingga terapi yang diberikan efektif dan efisien.




BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN




Kesimpulan
Dari pendahuhuluan, tinjauan teori tinjauan kasus dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa :
1) Pemeriksaan laboratorium merupakan prosedur pemeriksaan khusus yang dilakukan pada pasien untuk membantu menegakan diagnosis.
2) Sekumpulan pemeriksaan laboratorium yang dirancang untuk tujuan tertentu misalnya untuk mendeteksi penyakit, menentukan risiko, memantau perkembangan penyakit, memantau pengobatan, dan lain-lain. Mengetahui ada tidaknya kelainan/penyakit yang banyak dijumpai dan potensial membahayakan.
3) Di Puskesmas pemeriksaan umumnya dilakukan secara sederhana, meskipun demikian laboratorium puskesmas sudah dilengkapi dengan peralatan yang memadai dengan dilengkapi tenaga pemeriksa yang spesialis di bidang analis laboratorium, sehingga mutu hasil pemeriksaanpun tidak perlu diragukan lagi.
4) Pemeriksaan laboratorium Puskesmas meliputi : Pemeriksaan urine (Derajat keasaman/pH, Protein, Bilirubin, Glukosa, HCG test/tes kehamilan) ; Pemeriksaan darah (Haemoglobin/Hb cara Sahli, Golongan darah, Widal, Malaria) ; Pemeriksaan sputum/dahak (BTA/basil tahan asam).
5) Ny. S dengan keluhan ; badan terasa lemah, pusing, kalau berdiri terasa mau pingsan dicurigai menderita anemia dan dengan dilakukan pemeriksaan laboratorium dengan hasil Hb 9,6 gr/dL dapat didefinisikan Ny. S menderita anemia.
6) Setelah pemeriksaan dilakukan pendokumentasian hasil pemeriksaan. Dokumentasi dibuat untuk pelaporan tindakan dan hasil tindakan benar telah dilakukan. Dokumentasi dibuat untuk bahan laporan pertanggungjawaban ruangan laboratorium puskesmas dan laporan hasil pemeriksaan kepada dokter yang menrujuk pasien ke laboratorium.

Saran
5.2.1. Bagi institusi pendidikan.
Diharapkan agar mahasiswa mendapatkan bimbingan yang lebih mendalam tentang fungsi dan peran mahasiswa perawat/perawat dalam proses pemeriksaan laboratorium, batasan tindakan, dan prosedur kolaboratif dalm pemeriksaan laboratorium.
5.2.2. Bagi institusi Puskesmas Panarung
Bagi institusi Puskesmas Panarung khususnya ruang laboratorium tetap di tingkatkan mutu pelayanan kesehatan dan pendokumentasian data hasil pemeriksaan kesehatan pasien, sehingga dapat menjadi tambahan pengetahuan dan bimbingan bagi mahasiswa dilahan praktek dalam melaksanakan proses keperawatan dan kolaboratif perawat dalam tindakan pemeriksaan laboratorium.



DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, Alimul A. 2004. Buku Saku Praktikum Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta : EGC.
Pusat LABKES. 1997. Petunjuk Pemeriksaan Laboratorium Puskesmas. Jakarta : Dit. Jen Binkesmas.
www.dokter.indo.net.id
www.prodia.co.id

ASKEP FRAKTUR



I. PENGERTIAN
Fraktur adalah putusnya hubungan normal suatu tulang atau tulang rawan yang disebabkan oleh kekerasan. (E. Oerswari, 1989 : 144).
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2000 : 347).
Fraktur tertutup adalah bila tidak ada hubungan patah tulang dengan dunia luar. Fraktur terbuka adalah fragmen tulang meluas melewati otot dan kulit, dimana potensial untuk terjadi infeksi (Sjamsuhidajat, 1999 : 1138).
Fraktur femur adalah terputusnya kontinuitas batang femur yang bisa terjadi akibat trauma langsung (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian), dan biasanya lebih banyak dialami oleh laki-laki dewasa. Patah pada daerah ini dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak, mengakibatkan pendertia jatuh dalam syok (FKUI, 1995:543)
Fraktur olecranon adalah fraktur yang terjadi pada siku yang disebabkan oleh kekerasan langsung, biasanya kominuta dan disertai oleh fraktur lain atau dislokasi anterior dari sendi tersebut (FKUI, 1995:553).

II. ETIOLOGI
Menurut Sachdeva (1996), penyebab fraktur dapat dibagi menjadi tiga yaitu :
a. Cedera traumatik
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :
1) Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang pata secara spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit diatasnya.
2) Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan menyebabkan fraktur klavikula.
3) Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang kuat.
b. Fraktur Patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan trauma minor dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada berbagai keadaan berikut :
1) Tumor tulang (jinak atau ganas) : pertumbuhan jaringan baru yang tidak terkendali dan progresif.
2) Infeksi seperti osteomielitis : dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau dapat timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan sakit nyeri.
3) Rakhitis : suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi Vitamin D yang mempengaruhi semua jaringan skelet lain, biasanya disebabkan oleh defisiensi diet, tetapi kadang-kadang dapat disebabkan kegagalan absorbsi Vitamin D atau oleh karena asupan kalsium atau fosfat yang rendah.
c. Secara spontan : disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya pada penyakit polio dan orang yang bertugas dikemiliteran.

III. KLASIFIKASI FRAKTUR FEMUR
a. Fraktur tertutup (closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar.
b. Fraktur terbuka (open/compound), bila terdapat hubungan antara fragemen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukan di kulit, fraktur terbuka dibagi menjadi tiga derajat, yaitu :
1) Derajat I
- luka kurang dari 1 cm
- kerusakan jaringan lunak sedikit tidak ada tanda luka remuk.
- fraktur sederhana, tranversal, obliq atau kumulatif ringan.
- Kontaminasi ringan.
2) Derajat II
- Laserasi lebih dari 1 cm
- Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, avulse
- Fraktur komuniti sedang.
3) Derajat III
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas meliputi struktur kulit, otot dan neurovaskuler serta kontaminasi derajat tinggi.
c. Fraktur complete
• Patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami pergerseran (bergeser dari posisi normal).
d. Fraktur incomplete
• Patah hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah tulang.
e. Jenis khusus fraktur
a) Bentuk garis patah
1) Garis patah melintang
2) Garis pata obliq
3) Garis patah spiral
4) Fraktur kompresi
5) Fraktur avulsi
b) Jumlah garis patah
1) Fraktur komunitif garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.
2) Fraktur segmental garis patah lebih dari satu tetapi saling berhubungan
3) Fraktur multiple garis patah lebih dari satu tetapi pada tulang yang berlainan.
c) Bergeser-tidak bergeser
 Fraktur tidak bergeser garis patali kompli tetapi kedua fragmen tidak bergeser.
 Fraktur bergeser, terjadi pergeseran fragmen-fragmen fraktur yang juga disebut di lokasi fragmen (Smeltzer, 2001:2357).

IV. PATOFISIOLOGI


Proses penyembuhan luka terdiri dari beberapa fase yaitu :
1. Fase hematum
• Dalam waktu 24 jam timbul perdarahan, edema, hematume disekitar fraktur
• Setelah 24 jam suplai darah di sekitar fraktur meningkat
2. Fase granulasi jaringan
• Terjadi 1 – 5 hari setelah injury
• Pada tahap phagositosis aktif produk neorosis
• Itematome berubah menjadi granulasi jaringan yang berisi pembuluh darah baru fogoblast dan osteoblast.
3. Fase formasi callus
• Terjadi 6 – 10 harisetelah injuri
• Granulasi terjadi perubahan berbentuk callus
4. Fase ossificasi
• Mulai pada 2 – 3 minggu setelah fraktur sampai dengan sembuh
• Callus permanent akhirnya terbentuk tulang kaku dengan endapan garam kalsium yang menyatukan tulang yang patah
5. Fase consolidasi dan remadelling
• Dalam waktu lebih 10 minggu yang tepat berbentuk callus terbentuk dengan oksifitas osteoblast dan osteuctas (Black, 1993 : 19 ).

V. TANDA DAN GEJALA
1. Deformitas
Daya terik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah dari tempatnya perubahan keseimbangan dan contur terjadi seperti :
a. Rotasi pemendekan tulang
b. Penekanan tulang
2. Bengkak : edema muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravaksasi darah dalam jaringan yang berdekatan dengan fraktur
3. Echumosis dari Perdarahan Subculaneous
4. Spasme otot spasme involunters dekat fraktur
5. Tenderness/keempukan
6. Nyeri mungkin disebabkan oleh spasme otot berpindah tulang dari tempatnya dan kerusakan struktur di daerah yang berdekatan.
7. Kehilangan sensasi (mati rasa, mungkin terjadi dari rusaknya saraf/perdarahan)
8. Pergerakan abnormal
9. Shock hipovolemik hasil dari hilangnya darah
10. Krepitasi (Black, 1993 : 199).

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Foto Rontgen
 Untuk mengetahui lokasi fraktur dan garis fraktur secara langsung
 Mengetahui tempat dan type fraktur
Biasanya diambil sebelum dan sesudah dilakukan operasi dan selama proses penyembuhan secara periodik
2. Skor tulang tomography, skor C1, Mr1 : dapat digunakan mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
3. Artelogram dicurigai bila ada kerusakan vaskuler
4. Hitung darah lengkap HT mungkin meningkat ( hemokonsentrasi ) atau menrurun ( perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple)
Peningkatan jumlah SDP adalah respon stres normal setelah trauma
5. Profil koagulasi perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah transfusi multiple atau cedera hati (Doenges, 1999 : 76 ).

VII. PENATALAKSANAAN
1. Fraktur Reduction
 Manipulasi atau penurunan tertutup, manipulasi non bedah penyusunan kembali secara manual dari fragmen-fragmen tulang terhadap posisi otonomi sebelumnya.
 Penurunan terbuka merupakan perbaikan tulang terusan penjajaran insisi pembedahan, seringkali memasukkan internal viksasi terhadap fraktur dengan kawat, sekrup peniti plates batang intramedulasi, dan paku. Type lokasi fraktur tergantung umur klien.
Peralatan traksi :
o Traksi kulit biasanya untuk pengobatan jangka pendek
o Traksi otot atau pembedahan biasanya untuk periode jangka panjang.
2. Fraktur Immobilisasi
 Pembalutan (gips)
 Eksternal Fiksasi
 Internal Fiksasi
 Pemilihan Fraksi
3. Fraksi terbuka
 Pembedahan debridement dan irigrasi
 Imunisasi tetanus
 Terapi antibiotic prophylactic
 Immobilisasi (Smeltzer, 2001).


MANAJEMEN KEPERAWATAN

I. PENGKAJIAN
Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses keperawatan secara menyeluruh (Boedihartono, 1994 : 10).
Pengkajian pasien Post op frakture Olecranon (Doenges, 1999) meliputi :
a. Sirkulasi
Gejala : riwayat masalah jantung, GJK, edema pulmonal, penyakit vascular perifer, atau stasis vascular (peningkatan risiko pembentukan trombus).
b. Integritas ego
Gejala : perasaan cemas, takut, marah, apatis ; factor-faktor stress multiple, misalnya financial, hubungan, gaya hidup.
Tanda : tidak dapat istirahat, peningkatan ketegangan/peka rangsang ; stimulasi simpatis.
c. Makanan / cairan
Gejala : insufisiensi pancreas/DM, (predisposisi untuk hipoglikemia/ketoasidosis) ; malnutrisi (termasuk obesitas) ; membrane mukosa yang kering (pembatasan pemasukkan / periode puasa pra operasi).
d. Pernapasan
Gejala : infeksi, kondisi yang kronis/batuk, merokok.
e. Keamanan
Gejala : alergi/sensitive terhadap obat, makanan, plester, dan larutan ; Defisiensi immune (peningkaan risiko infeksi sitemik dan penundaan penyembuhan) ; Munculnya kanker / terapi kanker terbaru ; Riwayat keluarga tentang hipertermia malignant/reaksi anestesi ; Riwayat penyakit hepatic (efek dari detoksifikasi obat-obatan dan dapat mengubah koagulasi) ; Riwayat transfuse darah / reaksi transfuse.
Tanda : menculnya proses infeksi yang melelahkan ; demam.
f. Penyuluhan / Pembelajaran
Gejala : pengguanaan antikoagulasi, steroid, antibiotic, antihipertensi, kardiotonik glokosid, antidisritmia, bronchodilator, diuretic, dekongestan, analgesic, antiinflamasi, antikonvulsan atau tranquilizer dan juga obat yang dijual bebas, atau obat-obatan rekreasional. Penggunaan alcohol (risiko akan kerusakan ginjal, yang mempengaruhi koagulasi dan pilihan anastesia, dan juga potensial bagi penarikan diri pasca operasi).

II. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan adalah suatu penyatuan dari masalah pasien yang nyata maupun potensial berdasarkan data yang telah dikumpulkan (Boedihartono, 1994 : 17).
Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien dengan post op fraktur (Wilkinson, 2006) meliputi :
1. Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan fragmen tulang, edema dan cedera pada jaringan, alat traksi/immobilisasi, stress, ansietas
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan dispnea, kelemahan/keletihan, ketidak edekuatan oksigenasi, ansietas, dan gangguan pola tidur.
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, perubahan status metabolik, kerusakan sirkulasi dan penurunan sensasi dibuktikan oleh terdapat luka / ulserasi, kelemahan, penurunan berat badan, turgor kulit buruk, terdapat jaringan nekrotik.
4. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ketidak nyamanan, kerusakan muskuloskletal, terapi pembatasan aktivitas, dan penurunan kekuatan/tahanan.
5. Risiko infeksi berhubungan dengan stasis cairan tubuh, respons inflamasi tertekan, prosedur invasif dan jalur penusukkan, luka/kerusakan kulit, insisi pembedahan.
6. Kurang pengetahuan tantang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang terpajan/mengingat, salah interpretasi informasi.

III. INTERVENSI DAN IMPLEMENTASI
Intervensi adalah penyusunan rencana tindakan keperawatan yang akan dilaksanakan untuk menanggulangi masalah sesuai dengan diagnosa keperawatan (Boedihartono, 1994:20)
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan (Effendi, 1995:40).
Intervensi dan implementasi keperawatan yang muncul pada pasien dengan post op frakture Olecranon (Wilkinson, 2006) meliputi :
1. Nyeri adalah pengalaman sensori serta emosi yang tidak menyenangkan dan meningkat akibat adanya kerusakan jaringan aktual atau potensial, digambarkan dalam istilah seperti kerusakan ; awitan yang tiba-tiba atau perlahan dari intensitas ringan samapai berat dengan akhir yang dapat di antisipasi atau dapat diramalkan dan durasinya kurang dari enam bulan.
Tujuan : nyeri dapat berkurang atau hilang.
Kriteria Hasil : - Nyeri berkurang atau hilang
- Klien tampak tenang.
Intervensi dan Implementasi :
a. Lakukan pendekatan pada klien dan keluarga
R/ hubungan yang baik membuat klien dan keluarga kooperatif
b. Kaji tingkat intensitas dan frekwensi nyeri
R/ tingkat intensitas nyeri dan frekwensi menunjukkan skala nyeri
c. Jelaskan pada klien penyebab dari nyeri
R/ memberikan penjelasan akan menambah pengetahuan klien tentang nyeri.

d. Observasi tanda-tanda vital.
R/ untuk mengetahui perkembangan klien
e. Melakukan kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgesik
R/ merupakan tindakan dependent perawat, dimana analgesik berfungsi untuk memblok stimulasi nyeri.

2. Intoleransi aktivitas adalah suatu keadaaan seorang individu yang tidak cukup mempunyai energi fisiologis atau psikologis untuk bertahan atau memenuhi kebutuhan atau aktivitas sehari-hari yang diinginkan.
Tujuan : pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
Kriteria hasil : - perilaku menampakan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan diri.
- pasien mengungkapkan mampu untuk melakukan beberapa aktivitas tanpa dibantu.
- Koordinasi otot, tulang dan anggota gerak lainya baik.
Intervensi dan Implementasi :
a. Rencanakan periode istirahat yang cukup.
R/ mengurangi aktivitas yang tidak diperlukan, dan energi terkumpul dapat digunakan untuk aktivitas seperlunya secar optimal.
b. Berikan latihan aktivitas secara bertahap.
R/ tahapan-tahapan yang diberikan membantu proses aktivitas secara perlahan dengan menghemat tenaga namun tujuan yang tepat, mobilisasi dini.
c. Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan sesuai kebutuhan.
R/ mengurangi pemakaian energi sampai kekuatan pasien pulih kembali.
d. Setelah latihan dan aktivitas kaji respons pasien.
R/ menjaga kemungkinan adanya respons abnormal dari tubuh sebagai akibat dari latihan.

3. Kerusakan integritas kulit adalah keadaan kulit seseorang yang mengalami perubahan secara tidak diinginkan.
Tujuan : Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.
Kriteria Hasil : - tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
- luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
- Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi dan Implementasi :
a. Kaji kulit dan identifikasi pada tahap perkembangan luka.
R/ mengetahui sejauh mana perkembangan luka mempermudah dalam melakukan tindakan yang tepat.
b. Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan luka.
R/ mengidentifikasi tingkat keparahan luka akan mempermudah intervensi.
c. Pantau peningkatan suhu tubuh.
R/ suhu tubuh yang meningkat dapat diidentifikasikan sebagai adanya proses peradangan.
d. Berikan perawatan luka dengan tehnik aseptik. Balut luka dengan kasa kering dan steril, gunakan plester kertas.
R/ tehnik aseptik membantu mempercepat penyembuhan luka dan mencegah terjadinya infeksi.
e. Jika pemulihan tidak terjadi kolaborasi tindakan lanjutan, misalnya debridement.
R/ agar benda asing atau jaringan yang terinfeksi tidak menyebar luas pada area kulit normal lainnya.
f. Setelah debridement, ganti balutan sesuai kebutuhan.
R/ balutan dapat diganti satu atau dua kali sehari tergantung kondisi parah/ tidak nya luka, agar tidak terjadi infeksi.
g. Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.
R / antibiotik berguna untuk mematikan mikroorganisme pathogen pada daerah yang berisiko terjadi infeksi.

4. Hambatan mobilitas fisik adalah suatu keterbatasan dalam kemandirian, pergerakkan fisik yang bermanfaat dari tubuh atau satu ekstremitas atau lebih.
Tujuan : pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.
Kriteria hasil : - penampilan yang seimbang..
- melakukan pergerakkan dan perpindahan.
- mempertahankan mobilitas optimal yang dapat di toleransi, dengan karakteristik :
 0 = mandiri penuh
 1 = memerlukan alat Bantu.
 2 = memerlukan bantuan dari orang lain untuk bantuan, pengawasan, dan pengajaran.
 3 = membutuhkan bantuan dari orang lain dan alat Bantu.
 4 = ketergantungan; tidak berpartisipasi dalam aktivitas.
Intervensi dan Implementasi :
g. Kaji kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan kebutuhan akan peralatan.
R/ mengidentifikasi masalah, memudahkan intervensi.
h. Tentukan tingkat motivasi pasien dalam melakukan aktivitas.
R/ mempengaruhi penilaian terhadap kemampuan aktivitas apakah karena ketidakmampuan ataukah ketidakmauan.
i. Ajarkan dan pantau pasien dalam hal penggunaan alat bantu.
R/ menilai batasan kemampuan aktivitas optimal.
j. Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif.
R/ mempertahankan /meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot.
k. Kolaborasi dengan ahli terapi fisik atau okupasi.
R/ sebagai suaatu sumber untuk mengembangkan perencanaan dan mempertahankan/meningkatkan mobilitas pasien.

5. Risiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan perifer, perubahan sirkulasi, kadar gula darah yang tinggi, prosedur invasif dan kerusakan kulit.
Tujuan : infeksi tidak terjadi / terkontrol.
Kriteria hasil : - tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
- luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
- Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi dan Implementasi :
a. Pantau tanda-tanda vital.
R/ mengidentifikasi tanda-tanda peradangan terutama bila suhu tubuh meningkat.
b. Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik.
R/ mengendalikan penyebaran mikroorganisme patogen.
c. Lakukan perawatan terhadap prosedur inpasif seperti infus, kateter, drainase luka, dll.
R/ untuk mengurangi risiko infeksi nosokomial.
d. Jika ditemukan tanda infeksi kolaborasi untuk pemeriksaan darah, seperti Hb dan leukosit.
R/ penurunan Hb dan peningkatan jumlah leukosit dari normal bisa terjadi akibat terjadinya proses infeksi.
e. Kolaborasi untuk pemberian antibiotik.
R/ antibiotik mencegah perkembangan mikroorganisme patogen.

6. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang terpajan/mengingat, salah interpretasi informasi.
Tujuan : pasien mengutarakan pemahaman tentang kondisi, efek prosedur dan proses pengobatan.
Kriteria Hasil : - melakukan prosedur yang diperlukan dan menjelaskan alasan dari suatu tindakan.
- memulai perubahan gaya hidup yang diperlukan dan ikut serta dalam regimen perawatan.
Intervensi dan Implementasi:
a. Kaji tingkat pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakitnya.
R/ mengetahui seberapa jauh pengalaman dan pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakitnya.
b. Berikan penjelasan pada klien tentang penyakitnya dan kondisinya sekarang.
R/ dengan mengetahui penyakit dan kondisinya sekarang, klien dan keluarganya akan merasa tenang dan mengurangi rasa cemas.
c. Anjurkan klien dan keluarga untuk memperhatikan diet makanan nya.
R/ diet dan pola makan yang tepat membantu proses penyembuhan.
d. Minta klien dan keluarga mengulangi kembali tentang materi yang telah diberikan.
R/ mengetahui seberapa jauh pemahaman klien dan keluarga serta menilai keberhasilan dari tindakan yang dilakukan.

IV. EVALUASI
Evaluasi addalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf keberhasilan dalam pencapaian tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk memodifikasi tujuan atau intervensi keperawatan ditetapkan (Brooker, 2001).
Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan post operasi fraktur adalah :
1. Nyeri dapat berkurang atau hilang setelah dilakukan tindakan keperawatan.
2. Pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
3. Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai
4. Pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.
5. Infeksi tidak terjadi / terkontrol
6. Pasien mengutarakan pemahaman tentang kondisi, efek prosedur dan proses pengobatan.

DAFTAR PUSTAKA


Black, Joyce M. 1993. Medical Surgical Nursing. W.B Sainders Company : Philadelpia
Boedihartono, 1994, Proses Keperawatan di Rumah Sakit. EGC : Jakarta.
Brooker, Christine. 2001. Kamus Saku Keperawatan. EGC : Jakarta.
Brunner dan Suddarth, 2002, Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 3, EGC, Jakarta
Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3. EGC : Jakarta.
E. Oerswari 1989, Bedah dan Perawatannya, PT Gramedia. Jakarta
Nasrul, Effendi. 1995. Pengantar Proses Keperawatan. EGC. Jakarta.
Sjamsuhidajat, R. dan Wim de Jong. 1998. Buku Ajar Imu Bedah, Edisi revisi. EGC : Jakarta
Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan, edisi 7. EGC : Jakarta.
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah dari Brunner & Suddarth, Edisi 8. EGC : Jakarta.
FKUI. 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Binarupa Aksara : Jakarta

ASKEP TRAUMA ABDOMEN

A. PENGERTIAN
Trauma adalah cedera/rudapaksa atau kerugian psikologis atau emosional (Dorland, 2002).
Trauma adalah luka atau cedera fisik lainnya atau cedera fisiologis akibat gangguan emosional yang hebat (Brooker, 2001).
Trauma adalah penyebab kematian utama pada anak dan orang dewasa kurang dari 44 tahun. Penyalahgunaan alkohol dan obat telah menjadi faktor implikasi pada trauma tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001).
Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001).
Trauma perut merupakan luka pada isi rongga perut dapat terjadi dengan atau tanpa tembusnya dinding perut dimana pada penanganan/penatalaksanaan lebih bersifat kedaruratan dapat pula dilakukan tindakan laparatomi (FKUI, 1995).

B. ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI
1. Trauma tembus (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga peritonium).
Disebabkan oleh : luka tusuk, luka tembak.
2. Trauma tumpul (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga peritonium).
Disebabkan oleh : pukulan, benturan, ledakan, deselerasi, kompresi atau sabuk pengaman (set-belt) (FKUI, 1995).

C. PATOFISIOLOGI
Tusukan/tembakan ; pukulan, benturan, ledakan, deselerasi, kompresi atau sabuk pengaman (set-belt)-Trauma abdomen- :
1. Trauma tumpul abdomen
 Kehilangan darah.
 Memar/jejas pada dinding perut.
 Kerusakan organ-organ.
 Nyeri
 Iritasi cairan usus
2.Trauma tembus abdomen
 Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ
 Respon stres simpatis
 Perdarahan dan pembekuan darah
 Kontaminasi bakteri
 Kematian sel
1 & 2 menyebabkan :

Kerusakan integritas kulit

Syok dan perdarahan

Kerusakan pertukaran gas

Risiko tinggi terhadap infeksi

Nyeri akut

(FKUI. 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu bedah. Binarupa Aksara : Jakarta)


D. TANDA DAN GEJALA
1. Trauma tembus (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga peritonium) :
 Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ
 Respon stres simpatis
 Perdarahan dan pembekuan darah
 Kontaminasi bakteri
 Kematian sel
2. Trauma tumpul (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga peritonium).
 Kehilangan darah.
 Memar/jejas pada dinding perut.
 Kerusakan organ-organ.
 Nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas dan kekakuan (rigidity) dinding perut.
 Iritasi cairan usus (FKUI, 1995).

E. KOMPLIKASI
 Segera : hemoragi, syok, dan cedera.
 Lambat : infeksi (Smeltzer, 2001).

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
 Pemeriksaan rektum : adanya darah menunjukkan kelainan pada usus besar ; kuldosentesi, kemungkinan adanya darah dalam lambung ; dan kateterisasi, adanya darah menunjukkan adanya lesi pada saluran kencing.
 Laboratorium : hemoglobin, hematokrit, leukosit dan analisis urine.
 Radiologik : bila diindikasikan untuk melakukan laparatomi.
 IVP/sistogram : hanya dilakukan bila ada kecurigaan terhadap trauma saluran kencing.
 Parasentesis perut : tindakan ini dilakukan pada trauma tumpul perut yang diragukan adanya kelainan dalam rongga perut atau trauma tumpul perut yang disertai dengan trauma kepala yang berat, dilakukan dengan menggunakan jarum pungsi no 18 atau 20 yang ditusukkan melalui dinding perut didaerah kuadran bawah atau digaris tengah dibawah pusat dengan menggosokkan buli-buli terlebih dahulu.
 Lavase peritoneal : pungsi dan aspirasi/bilasan rongga perut dengan memasukkan cairan garam fisiologis melalui kanula yang dimasukkan kedalam rongga peritonium (FKUI, 1995).

G. PENATALAKSANAAN
 Penatalaksanaan kedaruratan ; ABCDE.
 Pemasangan NGT untuk pengosongan isi lambung dan mencegah aspirasi.
 Kateter dipasang untuk mengosongkan kandung kencing dan menilai urin yang keluar (perdarahan).
 Pembedahan/laparatomi (untuk trauma tembus dan trauma tumpul jika terjadi rangsangan peritoneal : syok ; bising usus tidak terdengar ; prolaps visera melalui luka tusuk ; darah dalam lambung, buli-buli, rektum ; udara bebas intraperitoneal ; lavase peritoneal positif ; cairan bebas dalam rongga perut) (FKUI, 1995).





MANAJEMEN KEPERAWATAN



A. PENGKAJIAN
Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses keperawatan secara menyeluruh (Boedihartono, 1994).
Pengkajian pasien trauma abdomen (Smeltzer, 2001) adalah meliputi :
1. Trauma Tembus abdomen
 Dapatkan riwayat mekanisme cedera ; kekuatan tusukan/tembakan ; kekuatan tumpul (pukulan).
 Inspeksi abdomen untuk tanda cedera sebelumnya : cedera tusuk, memar, dan tempat keluarnya peluru.
 Auskultasi ada/tidaknya bising usus dan catat data dasar sehingga perubahan dapat dideteksi. Adanya bising usus adalah tanda awal keterlibatan intraperitoneal ; jika ada tanda iritasi peritonium, biasanya dilakukan laparatomi (insisi pembedahan kedalam rongga abdomen).
 Kaji pasien untuk progresi distensi abdomen, gerakkan melindungi, nyeri tekan, kekakuan otot atau nyeri lepas, penurunan bising usus, hipotensi dan syok.
 Kaji cedera dada yang sering mengikuti cedera intra-abdomen, observasi cedera yang berkaitan.
 Catat semua tanda fisik selama pemeriksaan pasien.

2. Trauma tumpul abdomen
 Dapatkan riwayat detil jika mungkin (sering tidak bisa didapatkan, tidak akurat, atau salah). dapatkan semua data yang mungkin tentang hal-hal sebagai berikut :
• Metode cedera.
• Waktu awitan gejala.
• Lokasi penumpang jika kecelakaan lalu lintas (sopir sering menderita ruptur limpa atau hati). Sabuk keselamatan digunakan/tidak, tipe restrain yang digunakan.
• Waktu makan atau minum terakhir.
• Kecenderungan perdarahan.
• Penyakit danmedikasi terbaru.
• Riwayat immunisasi, dengan perhatian pada tetanus.
• Alergi.
 Lakukan pemeriksaan cepat pada seluruh tubuh pasienuntuk mendeteksi masalah yang mengancam kehidupan.

PENATALAKSANAAN KEDARURATAN
1. Mulai prosedur resusitasi (memperbaiki jalan napas, pernapasan, sirkulasi) sesuai indikasi.
2. Pertahankan pasien pada brankar atau tandu papan ; gerakkan dapat menyebabkan fragmentasi bekuan pada pada pembuluh darah besar dan menimbulkan hemoragi masif.
a) Pastikan kepatenan jalan napas dan kestabilan pernapasan serta sistem saraf.
b) Jika pasien koma, bebat leher sampai setelah sinar x leher didapatkan.
c) Gunting baju dari luka.
d) Hitung jumlah luka.
e) Tentukan lokasi luka masuk dan keluar.
3. Kaji tanda dan gejala hemoragi. Hemoragi sering menyertai cedera abdomen, khususnya hati dan limpa mengalami trauma.
4. Kontrol perdarahan dan pertahanan volume darah sampai pembedahan dilakukan.
a) Berikan kompresi pada luka perdarahan eksternal dan bendungan luka dada.
b) Pasang kateter IV diameter besar untuk penggantian cairan cepat dan memperbaiki dinamika sirkulasi.
c) Perhatikan kejadian syoksetelah respons awal terjadi terhadap transfusi ; ini sering merupakan tanda adanya perdarrahan internal.
d) Dokter dapat melakukan parasentesis untuk mengidentifikasi tempat perdarahan.
5. Aspirasi lambung dengan selang nasogastrik. Prosedur ini membantu mendeteksi luka lambung, mengurangi kontaminasi terhadap rongga peritonium, dan mencegah komplikasi paru karena aspirasi.
6. Tutupi visera abdomen yang keluar dengan balutan steril, balutan salin basah untuk mencegah nkekeringan visera.
a) Fleksikan lutut pasien ; posisi ini mencegah protusi lanjut.
b) Tunda pemberian cairan oral untuk mencegah meningkatnya peristaltik dan muntah.
7. Pasang kateter uretra menetap untuk mendapatkan kepastian adanya hematuria dan pantau haluaran urine.
8. Pertahankan lembar alur terus menerus tentang tanda vital, haluaran urine, pembacaan tekanan vena sentral pasien (bila diindikasikan), nilai hematokrit, dan status neurologik.
9. Siapkan untuk parasentesis atau lavase peritonium ketika terdapat ketidakpastian mengenai perdarahan intraperitonium.
10. Siapkan sinografi untuk menentukan apakah terdapat penetrasi peritonium pada kasus luka tusuk.
a) Jahitan dilakukan disekeliling luka.
b) Kateter kecil dimasukkan ke dalam luka.
c) Agens kontras dimasukkan melalui kateter ; sinar x menunjukkan apakah penetrasi peritonium telah dilakukan.
11. Berikan profilaksis tetanus sesuai ketentuan.
12. Berikan antibiotik spektrum luas untuk mencegah infeksi. trauma dapat menyebabkan infeksi akibat karena kerusakan barier mekanis, bakteri eksogen dari lingkungan pada waktu cedera dan manuver diagnostik dan terapeutik (infeksi nosokomial).
13. Siapkan pasien untuk pembedahan jika terdapat bukti adanya syok, kehilangan darah, adanya udara bebas dibawah diafragma, eviserasi, atau hematuria.

PENATALAKSANAAN DIRUANG PERAWATAN LANJUTAN
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan adalah suatu penyatuan dari masalah pasien yang nyata maupun potensial berdasarkan data yang telah dikumpulkan (Boedihartono, 1994).
Diagnosa keperawatan pada pasien dengan trauma abdomen (Wilkinson, 2006) adalah :
1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan cedera tusuk.
2. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan gangguan integritas kulit.
3. Nyeri akut berhubungan dengan trauma/diskontinuitas jaringan.
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum.
5. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ketidak nyamanan, terapi pembatasan aktivitas, dan penurunan kekuatan/tahanan.

C. INTERVENSI DAN IMPLEMENTASI
Intervensi adalah penyusunan rencana tindakan keperawatan yang akan dilaksanakan untuk menanggulangi masalah sesuai dengan diagnosa keperawatan (Boedihartono, 1994).
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan (Effendi, 1995).
Intervensi dan implementasi keperawatan yang muncul pada pasien dengan trauma abdomen (Wilkinson, 2006) meliputi :
1. Kerusakan integritas kulit adalah keadaan kulit seseorang yang mengalami perubahan secara tidak diinginkan.
Tujuan : Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.
Kriteria Hasil : - tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
- luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
- Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi dan Implementasi :
a. Kaji kulit dan identifikasi pada tahap perkembangan luka.
R/ mengetahui sejauh mana perkembangan luka mempermudah dalam melakukan tindakan yang tepat.
b. Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan luka.
R/ mengidentifikasi tingkat keparahan luka akan mempermudah intervensi.
c. Pantau peningkatan suhu tubuh.
R/ suhu tubuh yang meningkat dapat diidentifikasikan sebagai adanya proses peradangan.
d. Berikan perawatan luka dengan tehnik aseptik. Balut luka dengan kasa kering dan steril, gunakan plester kertas.
R/ tehnik aseptik membantu mempercepat penyembuhan luka dan mencegah terjadinya infeksi.
e. Jika pemulihan tidak terjadi kolaborasi tindakan lanjutan, misalnya debridement.
R/ agar benda asing atau jaringan yang terinfeksi tidak menyebar luas pada area kulit normal lainnya.
f. Setelah debridement, ganti balutan sesuai kebutuhan.
R/ balutan dapat diganti satu atau dua kali sehari tergantung kondisi parah/ tidak nya luka, agar tidak terjadi infeksi.
g. Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.
R / antibiotik berguna untuk mematikan mikroorganisme pathogen pada daerah yang berisiko terjadi infeksi.

2. Risiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan perifer, perubahan sirkulasi, kadar gula darah yang tinggi, prosedur invasif dan kerusakan kulit.
Tujuan : infeksi tidak terjadi / terkontrol.
Kriteria hasil : - tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
- luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
- Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi dan Implementasi :
a. Pantau tanda-tanda vital.
R/ mengidentifikasi tanda-tanda peradangan terutama bila suhu tubuh meningkat.
b. Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik.
R/ mengendalikan penyebaran mikroorganisme patogen.
c. Lakukan perawatan terhadap prosedur invasif seperti infus, kateter, drainase luka, dll.
R/ untuk mengurangi risiko infeksi nosokomial.
d. Jika ditemukan tanda infeksi kolaborasi untuk pemeriksaan darah, seperti Hb dan leukosit.
R/ penurunan Hb dan peningkatan jumlah leukosit dari normal bisa terjadi akibat terjadinya proses infeksi.

e. Kolaborasi untuk pemberian antibiotik.
R/ antibiotik mencegah perkembangan mikroorganisme patogen.

3. Nyeri adalah pengalaman sensori serta emosi yang tidak menyenangkan dan meningkat akibat adanya kerusakan jaringan aktual atau potensial, digambarkan dalam istilah seperti kerusakan ; awitan yang tiba-tiba atau perlahan dari intensitas ringan samapai berat dengan akhir yang dapat di antisipasi atau dapat diramalkan dan durasinya kurang dari enam bulan.
Tujuan : nyeri dapat berkurang atau hilang.
Kriteria Hasil : - Nyeri berkurang atau hilang
- Klien tampak tenang.
Intervensi dan Implementasi :
a. Lakukan pendekatan pada klien dan keluarga
R/ hubungan yang baik membuat klien dan keluarga kooperatif
b. Kaji tingkat intensitas dan frekwensi nyeri
R/ tingkat intensitas nyeri dan frekwensi menunjukkan skala nyeri
c. Jelaskan pada klien penyebab dari nyeri
R/ memberikan penjelasan akan menambah pengetahuan klien tentang nyeri
d. Observasi tanda-tanda vital.
R/ untuk mengetahui perkembangan klien
e. Melakukan kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgesik
R/ merupakan tindakan dependent perawat, dimana analgesik berfungsi untuk memblok stimulasi nyeri.

4. Intoleransi aktivitas adalah suatu keadaaan seorang individu yang tidak cukup mempunyai energi fisiologis atau psikologis untuk bertahan atau memenuhi kebutuhan atau aktivitas sehari-hari yang diinginkan.
Tujuan : pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
Kriteria hasil : - perilaku menampakan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan diri.
- pasien mengungkapkan mampu untuk melakukan beberapa aktivitas tanpa dibantu.
- Koordinasi otot, tulang dan anggota gerak lainya baik.
Intervensi dan Implementasi :
a. Rencanakan periode istirahat yang cukup.
R/ mengurangi aktivitas yang tidak diperlukan, dan energi terkumpul dapat digunakan untuk aktivitas seperlunya secar optimal.
b. Berikan latihan aktivitas secara bertahap.
R/ tahapan-tahapan yang diberikan membantu proses aktivitas secara perlahan dengan menghemat tenaga namun tujuan yang tepat, mobilisasi dini.
c. Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan sesuai kebutuhan.
R/ mengurangi pemakaian energi sampai kekuatan pasien pulih kembali.
d. Setelah latihan dan aktivitas kaji respons pasien.
R/ menjaga kemungkinan adanya respons abnormal dari tubuh sebagai akibat dari latihan.

5. Hambatan mobilitas fisik adalah suatu keterbatasan dalam kemandirian, pergerakkan fisik yang bermanfaat dari tubuh atau satu ekstremitas atau lebih.
Tujuan : pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.
Kriteria hasil : - penampilan yang seimbang..
- melakukan pergerakkan dan perpindahan.
- mempertahankan mobilitas optimal yang dapat di toleransi, dengan karakteristik :
 0 = mandiri penuh
 1 = memerlukan alat Bantu.
 2 = memerlukan bantuan dari orang lain untuk bantuan, pengawasan, dan pengajaran.
 3 = membutuhkan bantuan dari orang lain dan alat Bantu.
 4 = ketergantungan; tidak berpartisipasi dalam aktivitas.
Intervensi dan Implementasi :
a. Kaji kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan kebutuhan akan peralatan.
R/ mengidentifikasi masalah, memudahkan intervensi.
b. Tentukan tingkat motivasi pasien dalam melakukan aktivitas.
R/ mempengaruhi penilaian terhadap kemampuan aktivitas apakah karena ketidakmampuan ataukah ketidakmauan.
c. Ajarkan dan pantau pasien dalam hal penggunaan alat bantu.
R/ menilai batasan kemampuan aktivitas optimal.
d. Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif.
R/ mempertahankan /meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot.
e. Kolaborasi dengan ahli terapi fisik atau okupasi.
R/ sebagai suaatu sumber untuk mengembangkan perencanaan dan mempertahankan/meningkatkan mobilitas pasien.

D. EVALUASI
Evaluasi addalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf keberhasilan dalam pencapaian tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk memodifikasi tujuan atau intervensi keperawatan ditetapkan (Brooker, 2001).
Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan trauma abdomen adalah :
1. Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.
2. Infeksi tidak terjadi / terkontrol.
3. Nyeri dapat berkurang atau hilang.
4. Pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
5. Pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.


DAFTAR PUSTAKA

Boedihartono, 1994, Proses Keperawatan di Rumah Sakit, Jakarta.
Brooker, Christine. 2001. Kamus Saku Keperawatan Ed.31. EGC : Jakarta.
Dorland, W. A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran. EGC : Jakarta.
FKUI. 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu bedah. Binarupa Aksara : Jakarta
Nasrul Effendi, 1995, Pengantar Proses Keperawatan, EGC, Jakarta.
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal-Bedah Brunner and Suddarth Ed.8 Vol.3. EGC : Jakarta.

ASKEP TRAUMA DADA

A. PENGERTIAN
Trauma adalah cedera/rudapaksa atau kerugian psikologis atau emosional (Dorland, 2002).
Trauma adalah luka atau cedera fisik lainnya atau cedera fisiologis akibat gangguan emosional yang hebat (Brooker, 2001).
Trauma adalah penyebab kematian utama pada anak dan orang dewasa kurang dari 44 tahun. Penyalahgunaan alkohol dan obat telah menjadi faktor implikasi pada trauma tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001).
Trauma dada adalah trauma tajam atau tembus thoraks yang dapat menyebabkan tamponade jantung, perdarahan, pneumothoraks, hematothoraks, hematompneumothoraks (FKUI, 1995).
Trauma thorax adalah semua ruda paksa pada thorax dan dinding thorax, baik trauma atau ruda paksa tajam atau tumpul. (Hudak, 1999).
Di dalam toraks terdapat dua organ yang sangat vital bagi kehidupan manusia, yaitu paru-paru dan jantung. Paru-paru sebagai alat pernapasan dan jantung sebagai alat pemompa darah. Jika terjadi benturan atau trauma pada dada, kedua organ tersebut bisa mengalami gangguan atau bahkan kerusakan (www.iwansain.wordpress.com).

B. ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI
1) Tamponade jantung : disebabkan luka tusuk dada yang tembus ke mediastinum/daerah jantung.
2) Hematotoraks : disebabkan luka tembus toraks oleh benda tajam, traumatik atau spontan
3) Pneumothoraks : spontan (bula yang pecah) ; trauma (penyedotan luka rongga dada) ; iatrogenik (“pleural tap”, biopsi paaru-paru, insersi CVP, ventilasi dengan tekanan positif) (FKUI, 1995).
C. PATOFISIOLOGI

Tusukan/tembakan ; pukulan, benturan, ledakan, deselerasi, ,spontan -> Trauma dada ->
1. Tamponade jantung -> Perdarahan dalam perikardium -> Nyeri akut -> Pengaliran darah kembali ke atrium -> Lambat tertolong dapat menyebabkan kematian.
2. Hematotoraks -> Perdarahan/syok -> Ketidakefektifan pola napas
3. Pneumothoraks ->Udara masuk kedalam rongga pleural ->Udara tidak dapat keluar -> Tekanan pleura meningkat.
1,2, & 3 dapat menyebabkan Ketidakefektifan pola napas.


D. MANIFESTASI KLINIS
1) Tamponade jantung :
 Trauma tajam didaerah perikardium atau yang diperkirakan menembus jantung.
 Gelisah.
 Pucat, keringat dingin.
 Peninggian TVJ (tekanan vena jugularis).
 Pekak jantung melebar.
 Bunyi jantung melemah.
 Terdapat tanda-tanda paradoxical pulse pressure.
 ECG terdapat low voltage seluruh lead.
 Perikardiosentesis keluar darah (FKUI, 1995).
2) Hematotoraks :
 Pada WSD darah yang keluar cukup banyak dari WSD.
 Gangguan pernapasan (FKUI, 1995).
3) Pneumothoraks :
 Nyeri dada mendadak dan sesak napas.
 Gagal pernapasan dengan sianosis.
 Kolaps sirkulasi.
 Dada atau sisi yang terkena lebih resonan pada perkusi dan suara napas yang terdengar jauh atau tidak terdengar sama sekali.
 pada auskultasi terdengar bunyi klik (Ovedoff, 2002).
Jarang terdapat luka rongga dada, walaupun terdapat luka internal hebat seperti aorta yang ruptur. Luka tikaman dapat penetrasi melewati diafragma dan menimbulkan luka intra-abdominal (Mowschenson, 1990).



E. KOMPLIKASI
1) Iga : fraktur multiple dapat menyebabkan kelumpuhan rongga dada.
2) Pleura, paru-paru, bronkhi : hemo/hemopneumothoraks-emfisema pembedahan.
3) Jantung : tamponade jantung ; ruptur jantung ; ruptur otot papilar ; ruptur klep jantung.
4) Pembuluh darah besar : hematothoraks.
5) Esofagus : mediastinitis.
6) Diafragma : herniasi visera dan perlukaan hati, limpa dan ginjal (Mowschenson, 1990).
F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1) Radiologi : foto thorax (AP).
2) Gas darah arteri (GDA), mungkin normal atau menurun.
3) Torasentesis : menyatakan darah/cairan serosanguinosa.
4) Hemoglobin : mungkin menurun.
5) Pa Co2 kadang-kadang menurun.
6) Pa O2 normal / menurun.
7) Saturasi O2 menurun (biasanya).
8) Toraksentesis : menyatakan darah/cairan,

G. PENATALAKSANAAN
1) Darurat
 Anamnesa yang lengkap dan cepat. Anamnesa termasuk pengantar yang mungkin melihat kejadian. yang ditanyakan :
• Waktu kejadian
• Tempat kejadian
• Jenis senjata
• Arah masuk keluar perlukaan
• Bagaimana keadaan penderita selama dalam transportasi.
 Pemeriksaan harus lengkap dan cepat, baju penderita harus dibuka, kalau perlu seluruhnya.
• Inspeksi :
- Kalau mungkin penderita duduk, kalau tidak mungkin tidur. Tentukan luka masuk dan keluar.
- Gerakkan dan posisi pada akhir inspirasi.
- Akhir dari ekspirasi.
• Palpasi :
- Diraba ada/tidak krepitasi
- Nyeri tekan anteroposterior dan laterolateral.
- Fremitus kanan dan kiri dan dibandingkan.
• Perkusi :
- Adanya sonor, timpanis, atau hipersonor.
- Aadanya pekak dan batas antara yang pekak dan sonor seperti garis lurus atau garis miring.
• Auskultasi :
- Bising napas kanan dan kiri dan dibandingkan.
- Bising napas melemah atau tidak.
- Bising napas yang hilang atau tidak.
- Batas antara bising napas melemah atau menghilang dengan yang normal.
- Bising napas abnormal dan sebutkan bila ada.
 Pemeriksaan tekanan darah.
 Kalau perlu segera pasang infus, kalau perlu s yang besar.
 Pemeriksan kesadaran.
 Pemeriksaan Sirkulasi perifer.
 Kalau keadaan gawat pungsi.
 Kalau perlu intubasi napas bantuan.
 Kalau keadaan gawat darurat, kalau perlu massage jantung.
 Kalau perlu torakotomi massage jantung internal.
 Kalau keadaan stabil dapat dimintakan pemeriksaan radiologik (Foto thorax AP, kalau keadaan memungkinkan).

2) Therapy
 Chest tube / drainase udara (pneumothorax).
 WSD (hematotoraks).
 Pungsi.
 Torakotomi.
 Pemberian oksigen.





















MANAJEMEN KEPERAWATAN



A. PENGKAJIAN
Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses keperawatan secara menyeluruh (Boedihartono, 1994 : 10).
Pengkajian pasien dengan trauma thoraks (. Doenges, 1999) meliputi :
 Aktivitas / istirahat
Gejala : dipnea dengan aktivitas ataupun istirahat.
 Sirkulasi
Tanda : Takikardia ; disritmia ; irama jantunng gallops, nadi apical berpindah, tanda Homman ; TD : hipotensi/hipertensi ; DVJ.
 Integritas ego
Tanda : ketakutan atau gelisah.
 Makanan dan cairan
Tanda : adanya pemasangan IV vena sentral/infuse tekanan.
 Nyeri/ketidaknyamanan
Gejala : nyeri uni laterl, timbul tiba-tiba selama batuk atau regangan, tajam dan nyeri, menusuk-nusuk yang diperberat oleh napas dalam, kemungkinan menyebar ke leher, bahu dan abdomen.
Tanda : berhati-hati pada area yang sakit, perilaku distraksi, mengkerutkan wajah.
 Pernapasan
Gejala : kesulitan bernapas ; batuk ; riwayat bedah dada/trauma, penyakit paru kronis, inflamasi,/infeksi paaru, penyakit interstitial menyebar, keganasan ; pneumothoraks spontan sebelumnya, PPOM.
Tanda : Takipnea ; peningkatan kerja napas ; bunyi napas turun atau tak ada ; fremitus menurun ; perkusi dada hipersonan ; gerakkkan dada tidak sama ; kulit pucat, sianosis, berkeringat, krepitasi subkutan ; mental ansietas, bingung, gelisah, pingsan ; penggunaan ventilasi mekanik tekanan positif.
 Keamanan
Geajala : adanya trauma dada ; radiasi/kemoterapi untuk kkeganasan.
 Penyuluhan/pembelajaran
Gejala : riwayat factor risiko keluarga, TBC, kanker ; adanya bedah intratorakal/biopsy paru.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan ekpansi paru yang tidak maksimal karena akumulasi udara/cairan.
2. Inefektif bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan sekresi sekret dan penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan.
3. Perubahan kenyamanan : Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan reflek spasme otot sekunder.
4. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma mekanik terpasang bullow drainage.
5. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidakcukupan kekuatan dan ketahanan untuk ambulasi dengan alat eksternal.
6. Risiko terhadap infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme sekunder terhadap trauma.

C. INTERVENSI DAN IMPLEMENTASI
Intervensi adalah penyusunan rencana tindakan keperawatan yang akan dilaksanakan untuk menanggulangi masalah sesuai dengan diagnosa keperawatan (Boedihartono, 1994:20)
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan (Effendi, 1995:40).
Intervensi dan implementasi keperawatan yang muncul pada pasien dengan trauma thorax (Wilkinson, 2006) meliputi :
1) Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan ekspansi paru yang tidak maksimal karena trauma.
Tujuan : Pola pernapasan efektive.
Kriteria hasil :
o Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektive.
o Mengalami perbaikan pertukaran gas-gas pada paru.
o Adaptive mengatasi faktor-faktor penyebab.
Intervensi :
 Berikan posisi yang nyaman, biasanya dnegan peninggian kepala tempat tidur. Balik ke sisi yang sakit. Dorong klien untuk duduk sebanyak mungkin.
R/ Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan ekpsnsi paru dan ventilasi pada sisi yang tidak sakit.
 Obsservasi fungsi pernapasan, catat frekuensi pernapasan, dispnea atau perubahan tanda-tanda vital.
R/ Distress pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi sebgai akibat stress fifiologi dan nyeri atau dapat menunjukkan terjadinya syock sehubungan dengan hipoksia.
 Jelaskan pada klien bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk menjamin keamanan.
R/ Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengurangi ansietas dan mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.
 Jelaskan pada klien tentang etiologi/faktor pencetus adanya sesak atau kolaps paru-paru.
R/ Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.
 Pertahankan perilaku tenang, bantu pasien untuk kontrol diri dnegan menggunakan pernapasan lebih lambat dan dalam.
R/ Membantu klien mengalami efek fisiologi hipoksia, yang dapat dimanifestasikan sebagai ketakutan/ansietas.
 Perhatikan alat bullow drainase berfungsi baik, cek setiap 1 – 2 jam :
1) Periksa pengontrol penghisap untuk jumlah hisapan yang benar.
R/ Mempertahankan tekanan negatif intrapleural sesuai yang diberikan, yang meningkatkan ekspansi paru optimum/drainase cairan.
2) Periksa batas cairan pada botol penghisap, pertahankan pada batas yang ditentukan.
R/ Air penampung/botol bertindak sebagai pelindung yang mencegah udara atmosfir masuk ke area pleural.
3) Observasi gelembung udara botol penempung.
R/ gelembung udara selama ekspirasi menunjukkan lubang angin dari penumotoraks/kerja yang diharapka. Gelembung biasanya menurun seiring dnegan ekspansi paru dimana area pleural menurun. Tak adanya gelembung dapat menunjukkan ekpsnsi paru lengkap/normal atau slang buntu.

4) Posisikan sistem drainage slang untuk fungsi optimal, yakinkan slang tidak terlipat, atau menggantung di bawah saluran masuknya ke tempat drainage. Alirkan akumulasi dranase bela perlu.
R/ Posisi tak tepat, terlipat atau pengumpulan bekuan/cairan pada selang mengubah tekanan negative yang diinginkan.
5) Catat karakter/jumlah drainage selang dada.
R/ Berguna untuk mengevaluasi perbaikan kondisi/terjasinya perdarahan yang memerlukan upaya intervensi.
 Kolaborasi dengan tim kesehatan lain :
1) Dengan dokter, radiologi dan fisioterapi.
 Pemberian antibiotika.
 Pemberian analgetika.
 Fisioterapi dada.
 Konsul photo toraks.
R/ Mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.

2) Inefektif bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan sekresi sekret dan penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan.
Tujuan : Jalan napas lancar/normal
Kriteria hasil :
• Menunjukkan batuk yang efektif.
• Tidak ada lagi penumpukan sekret di sal. pernapasan.
• Klien nyaman.
Intervensi :
 Jelaskan klien tentang kegunaan batuk yang efektif dan mengapa terdapat penumpukan sekret di sal. pernapasan.
R/ Pengetahuan yang diharapkan akan membantu mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.
 Ajarkan klien tentang metode yang tepat pengontrolan batuk.
R/ Batuk yang tidak terkontrol adalah melelahkan dan tidak efektif, menyebabkan frustasi.
1) Napas dalam dan perlahan saat duduk setegak mungkin.
R/ Memungkinkan ekspansi paru lebih luas.
2) Lakukan pernapasan diafragma.
R/ Pernapasan diafragma menurunkan frek. napas dan meningkatkan ventilasi alveolar.
3) Tahan napas selama 3 - 5 detik kemudian secara perlahan-lahan, keluarkan sebanyak mungkin melalui mulut.
4) Lakukan napas ke dua , tahan dan batukkan dari dada dengan melakukan 2 batuk pendek dan kuat.
R/ Meningkatkan volume udara dalam paru mempermudah pengeluaran sekresi sekret.
 Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien batuk.
R/ Pengkajian ini membantu mengevaluasi keefektifan upaya batuk klien.
 Ajarkan klien tindakan untuk menurunkan viskositas sekresi : mempertahankan hidrasi yang adekuat; meningkatkan masukan cairan 1000 sampai 1500 cc/hari bila tidak kontraindikasi.
R/ Sekresi kental sulit untuk diencerkan dan dapat menyebabkan sumbatan mukus, yang mengarah pada atelektasis.
 Dorong atau berikan perawatan mulut yang baik setelah batuk.
R/ Hiegene mulut yang baik meningkatkan rasa kesejahteraan dan mencegah bau mulut.
 Kolaborasi dengan tim kesehatan lain :
Dengan dokter, radiologi dan fisioterapi.
 Pemberian expectoran.
 Pemberian antibiotika.
 Fisioterapi dada.
 Konsul photo toraks.
R/ Expextorant untuk memudahkan mengeluarkan lendir dan menevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.
3) Perubahan kenyamanan : Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan reflek spasme otot sekunder.
Tujuan : Nyeri berkurang/hilang.
Kriteria hasil :
• Nyeri berkurang/ dapat diadaptasi.
• Dapat mengindentifikasi aktivitas yang meningkatkan/ menurunkan nyeri.
• Pasien tidak gelisah.
Intervensi :
 Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakologi dan non invasif.
R/ Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmakologi lainnya telah menunjukkan keefektifan dalam mengurangi nyeri.
1) Ajarkan Relaksasi : Tehnik-tehnik untuk menurunkan ketegangan otot rangka, yang dapat menurunkan intensitas nyeri dan juga tingkatkan relaksasi masase.
R/ Akan melancarkan peredaran darah, sehingga kebutuhan O2 oleh jaringan akan terpenuhi, sehingga akan mengurangi nyerinya.
2) Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut.
R/ Mengalihkan perhatian nyerinya ke hal-hal yang menyenangkan.
 Berikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi yang nyaman ; misal waktu tidur, belakangnya dipasang bantal kecil.
R/ Istirahat akan merelaksasi semua jaringan sehingga akan meningkatkan kenyamanan.
 Tingkatkan pengetahuan tentang : sebab-sebab nyeri, dan menghubungkan berapa lama nyeri akan berlangsung.
R/ Pengetahuan yang akan dirasakan membantu mengurangi nyerinya. Dan dapat membantu mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.
 Kolaborasi denmgan dokter, pemberian analgetik.
R/ Analgetik memblok lintasan nyeri, sehingga nyeri akan berkurang.
 Observasi tingkat nyeri, dan respon motorik klien, 30 menit setelah pemberian obat analgetik untuk mengkaji efektivitasnya. Serta setiap 1 - 2 jam setelah tindakan perawatan selama 1 - 2 hari.
R/ Pengkajian yang optimal akan memberikan perawat data yang obyektif untuk mencegah kemungkinan komplikasi dan melakukan intervensi yang tepat.

4) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma mekanik terpasang bullow drainage.
Tujuan : Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.
Kriteria Hasil :
• tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
• luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
• Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi :
 Kaji kulit dan identifikasi pada tahap perkembangan luka.
R/ mengetahui sejauh mana perkembangan luka mempermudah dalam melakukan tindakan yang tepat.
 Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan luka.
R/ mengidentifikasi tingkat keparahan luka akan mempermudah intervensi.
 Pantau peningkatan suhu tubuh.
R/ suhu tubuh yang meningkat dapat diidentifikasikan sebagai adanya proses peradangan.
 Berikan perawatan luka dengan tehnik aseptik. Balut luka dengan kasa kering dan steril, gunakan plester kertas.
R/ tehnik aseptik membantu mempercepat penyembuhan luka dan mencegah terjadinya infeksi.
 Jika pemulihan tidak terjadi kolaborasi tindakan lanjutan, misalnya debridement.
R/ agar benda asing atau jaringan yang terinfeksi tidak menyebar luas pada area kulit normal lainnya.
 Setelah debridement, ganti balutan sesuai kebutuhan.
R/ balutan dapat diganti satu atau dua kali sehari tergantung kondisi parah/ tidak nya luka, agar tidak terjadi infeksi.
 Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.
R/ antibiotik berguna untuk mematikan mikroorganisme pathogen pada daerah yang berisiko terjadi infeksi.

5) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidakcukupan kekuatan dan ketahanan untuk ambulasi dengan alat eksternal.
Tujuan : pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.
Kriteria hasil :
• penampilan yang seimbang..
• melakukan pergerakkan dan perpindahan.
• mempertahankan mobilitas optimal yang dapat di toleransi, dengan karakteristik :
 0 = mandiri penuh
 1 = memerlukan alat Bantu.
 2 = memerlukan bantuan dari orang lain untuk bantuan, pengawasan, dan pengajaran.
 3 = membutuhkan bantuan dari orang lain dan alat Bantu.
 4 = ketergantungan; tidak berpartisipasi dalam aktivitas.
Intervensi :
 Kaji kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan kebutuhan akan peralatan.
R/ mengidentifikasi masalah, memudahkan intervensi.
 Tentukan tingkat motivasi pasien dalam melakukan aktivitas.
R/ mempengaruhi penilaian terhadap kemampuan aktivitas apakah karena ketidakmampuan ataukah ketidakmauan.
 Ajarkan dan pantau pasien dalam hal penggunaan alat bantu.
R/ menilai batasan kemampuan aktivitas optimal.
 Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif.
R/ mempertahankan /meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot.
 Kolaborasi dengan ahli terapi fisik atau okupasi.
R/ sebagai suaatu sumber untuk mengembangkan perencanaan dan mempertahankan/meningkatkan mobilitas pasien.

6) Risiko terhadap infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme sekunder terhadap trauma.
Tujuan : infeksi tidak terjadi / terkontrol.
Kriteria hasil :
• tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
• luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
• Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi :
 Pantau tanda-tanda vital.
R/ mengidentifikasi tanda-tanda peradangan terutama bila suhu tubuh meningkat.
 Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik.
R/ mengendalikan penyebaran mikroorganisme patogen.
 Lakukan perawatan terhadap prosedur inpasif seperti infus, kateter, drainase luka, dll.
R/ untuk mengurangi risiko infeksi nosokomial.
 Jika ditemukan tanda infeksi kolaborasi untuk pemeriksaan darah, seperti Hb dan leukosit.
R/ penurunan Hb dan peningkatan jumlah leukosit dari normal bisa terjadi akibat terjadinya proses infeksi.
 Kolaborasi untuk pemberian antibiotik.
R/ antibiotik mencegah perkembangan mikroorganisme patogen.

D. EVALUASI
Evaluasi addalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf keberhasilan dalam pencapaian tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk memodifikasi tujuan atau intervensi keperawatan ditetapkan (Brooker, Christine. 2001).
Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan trauma thorax/dada adalah :
1) Pola pernapasan efektive.
2) Jalan napas lancar/normal
3) Nyeri berkurang/hilang.
4) Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.
5) pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal
6) infeksi tidak terjadi / terkontrol.
DAFTAR PUSTAKA




Boedihartono, 1994, Proses Keperawatan di Rumah Sakit. EGC : Jakarta.
Brooker, Christine. 2001. Kamus Saku Keperawatan. EGC : Jakarta.
Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3. EGC : Jakarta.
Dorland, W. A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran. EGC : Jakarta.
FKUI. 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu bedah. Binarupa Aksara : Jakarta
Hudak, C.M. 1999. Keperawatan Kritis. Jakarta : EGC.
Mowschenson, Peter M. 1990. Segi Praktis Ilmu Bedah Untuk pemula. Edisi 2. Binarupa Aksara : Jakarta.
Nasrul Effendi. 1995. Pengantar Proses Keperawatan. EGC. Jakarta.
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal-Bedah Brunner and Suddarth Ed.8 Vol.3. EGC : Jakarta.
Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan, edisi 7. EGC : Jakarta.

ASKEP VERTIGO

2.1. Pengertian
Perkataan vertigo berasal dari bahasa Yunani vertere yang artinya memutar. Pengertian vertigo adalah : sensasi gerakan atau rasa gerak dari tubuh atau lingkungan sekitarnya, dapat disertai gejala lain, terutama dari jaringan otonomik akibat gangguan alat keseimbangan tubuh Vertigo mungkin bukan hanya terdiri dari satu gejala pusing saja, melainkan kumpulan gejala atau sindrom yang terdiri dari gejala somatik (nistagmus, unstable), otonomik (pucat, peluh dingin, mual, muntah) dan pusing. Dari (http://www.kalbefarma.com).

2.2. Etiologi
Menurut (Burton, 1990 : 170) yaitu :
a) Lesi vestibular
 Fisiologik
 Labirinitis
 Menière
 Obat ; misalnya quinine, salisilat.
 Otitis media
 “Motion sickness”
 “Benign post-traumatic positional vertigo”
b) Lesi saraf vestibularis
 Neuroma akustik
 Obat ; misalnya streptomycin
 Neuronitis vestibular
c) Lesi batang otak, serebelum atau lobus temporal
 Infark atau perdarahan pons
 Insufisiensi vertebro-basilar
 Migraine arteri basilaris
 Sklerosi diseminata
 Tumor
 Siringobulbia
 Epilepsy lobus temporal
Menurut(http://www.kalbefarma.com)
1. Penyakit Sistem Vestibuler Perifer :
a. Telinga bagian luar : serumen, benda asing.
b. Telinga bagian tengah: retraksi membran timpani, otitis media purulenta akuta, otitis media dengan efusi, labirintitis, kolesteatoma, rudapaksa dengan perdarahan.
c. Telinga bagian dalam: labirintitis akuta toksika, trauma, serangan vaskular, alergi, hidrops labirin (morbus Meniere ), mabuk gerakan, vertigo postural.
d. Nervus VIII. : infeksi, trauma, tumor.
e. Inti
Vestibularis: infeksi, trauma, perdarahan, trombosis arteria serebeli posterior inferior, tumor, sklerosis multipleks.
2. Penyakit SSP :
a. Hipoksia Iskemia otak. : Hipertensi kronis, arterios-klerosis, anemia, hipertensi kardiovaskular, fibrilasi atrium paroksismal, stenosis dan insufisiensi aorta, sindrom sinus karotis, sinkop, hipotensi ortostatik, blok jantung.
b. Infeksi : meningitis, ensefalitis, abses, lues.
c. Trauma kepala/ labirin.
d. Tumor.
e. Migren.
f. Epilepsi.
3. Kelainan endokrin: hipotiroid, hipoglikemi, hipoparatiroid, tumor medula adrenal, keadaan menstruasi-hamil-menopause.
4. Kelainan psikiatrik: depresi, neurosa cemas, sindrom hiperventilasi, fobia.
5. Kelainan mata: kelainan proprioseptik.
6. Intoksikasi.

2.3. Patofisiologi
Vertigo timbul jika terdapat ketidakcocokan informasi aferen yang disampaikan ke pusat kesadaran. Susunan aferen yang terpenting dalam sistem ini adalah susunan vestibuler atau keseimbangan, yang secara terus menerus menyampaikan impulsnya ke pusat keseimbangan. Susunan lain yang berperan ialah sistem optik dan pro-prioseptik, jaras-jaras yang menghubungkan nuklei vestibularis dengan nuklei N. III, IV dan VI, susunan vestibuloretikularis, dan vestibulospinalis.
Informasi yang berguna untuk keseimbangan tubuh akan ditangkap oleh reseptor vestibuler, visual, dan proprioseptik; reseptor vestibuler memberikan kontribusi paling besar, yaitu lebih dari 50 % disusul kemudian reseptor visual dan yang paling kecil kontribusinya adalah proprioseptik.
Dalam kondisi fisiologis/normal, informasi yang tiba di pusat integrasi alat keseimbangan tubuh berasal dari reseptor vestibuler, visual dan proprioseptik kanan dan kiri akan diperbandingkan, jika semuanya dalam keadaan sinkron dan wajar, akan diproses lebih lanjut. Respons yang muncul berupa penyesuaian otot-otot mata dan penggerak tubuh dalam
keadaan bergerak. Di samping itu orang menyadari posisi kepala dan tubuhnya terhadap lingkungan sekitar. Jika fungsi alat keseimbangan tubuh di perifer atau sentral dalam kondisi tidak normal/ tidak fisiologis, atau ada rangsang gerakan yang aneh atau berlebihan, maka proses pengolahan informasi akan terganggu, akibatnya muncul gejala vertigo dan gejala otonom; di samping itu, respons penyesuaian otot menjadi tidak adekuat sehingga muncul gerakan abnormal yang dapat berupa nistagmus, unsteadiness, ataksia saat berdiri/ berjalan dan gejala lainnya (http://www.kalbefarma.com).

2.4. Klasifikasi Vertigo
Berdasarkan gejala klinisnya, vertigo dapat dibagi atas beberapa kelompok :
1. Vertigo paroksismal
Yaitu vertigo yang serangannya datang mendadak, berlangsung beberapa menit atau hari, kemudian menghilang sempurna; tetapi suatu ketika serangan tersebut dapat muncul lagi. Di antara serangan, penderita sama sekali bebas keluhan. Vertigo jenis ini dibedakan menjadi :
1) Yang disertai keluhan telinga :
Termasuk kelompok ini adalah : Morbus Meniere, Arakhnoiditis pontoserebelaris, Sindrom Lermoyes, Sindrom Cogan, tumor fossa cranii posterior, kelainan gigi/ odontogen.
2) Yang tanpa disertai keluhan telinga; termasuk di sini adalah : Serangan iskemi sepintas arteria vertebrobasilaris, Epilepsi, Migren ekuivalen, Vertigo pada anak (Vertigo de L'enfance), Labirin picu (trigger labyrinth).
3) Yang timbulnya dipengaruhi oleh perubahan posisi, termasuk di sini adalah : Vertigo posisional paroksismal laten, Vertigo posisional paroksismal benigna.
2. Vertigo kronis
Yaitu vertigo yang menetap, keluhannya konstan tanpa (Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004: 47) serangan akut, dibedakan menjadi:
1) Yang disertai keluhan telinga : Otitis media kronika, meningitis Tb, labirintitis kronis, Lues serebri, lesi labirin akibat bahan ototoksik, tumor serebelopontin.
2) Tanpa keluhan telinga : Kontusio serebri, ensefalitis pontis, sindrom pasca komosio, pelagra, siringobulbi, hipoglikemi, sklerosis multipel, kelainan okuler, intoksikasi obat, kelainan psikis, kelainan kardiovaskuler, kelainan endokrin.
3) Vertigo yang dipengaruhi posisi : Hipotensi ortostatik, Vertigo servikalis.
3. Vertigo yang serangannya mendadak/akut, kemudian berangsur-angsur mengurang, dibedakan menjadi :
1) Disertai keluhan telinga : Trauma labirin, herpes zoster otikus, labirintitis akuta, perdarahan labirin, neuritis n.VIII, cedera pada auditiva interna/arteria vestibulokoklearis.
2) Tanpa keluhan telinga : Neuronitis vestibularis, sindrom arteria vestibularis anterior, ensefalitis vestibularis, vertigo epidemika, sklerosis multipleks, hematobulbi, sumbatan arteria serebeli inferior posterior.
Ada pula yang membagi vertigo menjadi :
1. Vertigo Vestibuler: akibat kelainan sistem vestibuler.
2. Vertigo Non Vestibuler: akibat kelainan sistem somatosensorik dan visual.

2.5. Manifestasi klinik
Perasaan berputar yang kadang-kadang disertai gejala sehubungan dengan reak dan lembab yaitu mual, muntah, rasa kepala berat, nafsu makan turun, lelah, lidah pucat dengan selaput putih lengket, nadi lemah, puyeng (dizziness), nyeri kepala, penglihatan kabur, tinitus, mulut pahit, mata merah, mudah tersinggung, gelisah, lidah merah dengan selaput tipis.

2.6. Pemerikasaan Penunjang
1) Pemeriksaan fisik :
 Pemeriksaan mata
 Pemeriksaan alat keseimbangan tubuh
 Pemeriksaan neurologik
 Pemeriksaan otologik
 Pemeriksaan fisik umum.
2) Pemeriksaan khusus :
 ENG
 Audiometri dan BAEP
 Psikiatrik
3) Pemeriksaan tambahan :
 Laboratorium
 Radiologik dan Imaging
 EEG, EMG, dan EKG.

2.7. Penatalaksanaan medis.
Terapi menurut (Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004: 48) :
Terdiri dari :
1. Terapi kausal
2. Terapi simtomatik
3. Terapi rehabilitatif

2.8. Manajemen Keperawatan
2.8.1. Pengkajian
a. Aktivitas / Istirahat
• Letih, lemah, malaise
• Keterbatasan gerak
• Ketegangan mata, kesulitan membaca
• Insomnia, bangun pada pagi hari dengan disertai nyeri kepala
• Sakit kepala yang hebat saat perubahan postur tubuh, aktivitas (kerja) atau karena perubahan cuaca.
b. Sirkulasi
• Riwayat hypertensi
• Denyutan vaskuler, misal daerah temporal
• Pucat, wajah tampak kemerahan.
c. Integritas Ego
• Faktor-faktor stress emosional/lingkungan tertentu
• Perubahan ketidakmampuan, keputusasaan, ketidakberdayaan depresi
• Kekhawatiran, ansietas, peka rangsangan selama sakit kepala
• Mekanisme refresif/dekensif (sakit kepala kronik)
d. Makanan dan cairan
• Makanan yang tinggi vasorektiknya misalnya kafein, coklat, bawang, keju, alkohol, anggur, daging, tomat, makan berlemak, jeruk, saus, hotdog, MSG (pada migrain).
• Mual/muntah, anoreksia (selama nyeri)
• Penurunan berat badan
e. Neurosensoris
• Pening, disorientasi (selama sakit kepala)
• Riwayat kejang, cedera kepala yang baru terjadi, trauma, stroke.
• Aura ; fasialis, olfaktorius, tinitus.
• Perubahan visual, sensitif terhadap cahaya/suara yang keras, epitaksis.
• Parastesia, kelemahan progresif/paralysis satu sisi tempore
• Perubahan pada pola bicara/pola pikir
• Mudah terangsang, peka terhadap stimulus.
• Penurunan refleks tendon dalam
• Papiledema.
f. Nyeri/ kenyamanan
• Karakteristik nyeri tergantung pada jenis sakit kepala, misal migrain, ketegangan otot, cluster, tumor otak, pascatrauma, sinusitis.
• Nyeri, kemerahan, pucat pada daerah wajah
• Fokus menyempit
• Fokus pada diri sndiri
• Respon emosional / perilaku tak terarah seperti menangis, gelisah.
• Otot-otot daerah leher juga menegang, frigiditas vokal.
g. Keamanan
• Riwayat alergi atau reaksi alergi
• Demam (sakit kepala)
• Gangguan cara berjalan, parastesia, paralisis
• Drainase nasal purulent (sakit kepala pada gangguan sinus)
h. Interaksi sosial
• Perubahan dalam tanggung jawab/peran interaksi sosial yang berhubungan dengan penyakit.
i. Penyuluhan / pembelajaran
• Riwayat hypertensi, migrain, stroke, penyakit pada keluarga
• Penggunaan alcohol/obat lain termasuk kafein. Kontrasepsi oral/hormone, menopause.
2.8.2. Diagnosa Keperawatan (Doengoes, 1999:2021)
1) Nyeri (akut/kronis) berhubungan dengan stress dan ketegangan, iritasi/ tekanan syaraf, vasospressor, peningkatan intrakranial ditandai dengan menyatakan nyeri yang dipengaruhi oleh faktor misal, perubahan posisi, perubahan pola tidur, gelisah.
2) Koping individual tak efektif berhubungan dengan ketidak-adekuatan relaksasi, metode koping tidak adekuat, kelebihan beban kerja.
3) Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan keterbatasan kognitif, tidak mengenal informasi dan kurang mengingat ditandai oleh memintanya informasi, ketidak-adekuatannya mengikuti instruksi.

2.8.3. Intervensi Keperawatan
a) Nyeri (akut/kronis) berhubungan dengan stress dan ketegangan, iritasi/ tekanan syaraf, vasospasme, peningkatan intrakranial ditandai dengan menyatakan nyeri yang dipengaruhi oleh faktor misal, perubahan posisi, perubahan pola tidur, gelisah.
Tujuan : Nyeri hilang atau berkurang
Kriteria hasil : - klien mengungkapkan rasa nyeri berkurang
- tanda-tanda vital normal
- pasien tampak tenang dan rileks
Intervensi/Implementasi
 Pantau tanda-tanda vital, intensitas/skala nyeri
Rasional : Mengenal dan memudahkan dalam melakukan tindakan keperawatan.
 Anjurkan klien istirahat ditempat tidur
Rasional : istirahat untuk mengurangi intesitas nyeri
 Atur posisi pasien senyaman mungkin
Rasional : posisi yang tepat mengurangi penekanan dan mencegah ketegangan otot serta mengurangi nyeri.

 Ajarkan teknik relaksasi dan napas dalam
Rasional : relaksasi mengurangi ketegangan dan membuat perasaan lebih nyaman
 Kolaborasi untuk pemberian analgetik.
Rasional : analgetik berguna untuk mengurangi nyeri sehingga pasien menjadi lebih nyaman.

b) Koping individual tak efektif berhubungan dengan ketidak-adekuatan relaksasi, metode koping tidak adekuat, kelebihan beban kerja.
Tujuan : koping individu menjadi lebih adekuat
Kriteria Hasil : - mengidentifikasi prilaku yang tidak efektif
- mengungkapkan kesadaran tentang kemampuan koping yang di miliki
- megkaji situasi saat ini yang akurat
- menunjukkan perubahan gaya hidup yang diperlukan atau situasi yang tepat.
Intervensi/Implementasi
 Kaji kapasitas fisiologis yang bersifat umum.
Rasional : Mengenal sejauh dan mengidentifikasi penyimpangan fungsi fisiologis tubuh dan memudahkan dalam melakukan tindakan keperawatan
 Sarankan klien untuk mengekspresikan perasaannya.
Rasional : klien akan merasakan kelegaan setelah mengungkapkan segala perasaannya dan menjadi lebih tenang
 Berikan informasi mengenai penyebab sakit kepala, penenangan dan hasil yang diharapkan.
Rasional : agar klien mengetahui kondisi dan pengobatan yang diterimanya, dan memberikan klien harapan dan semangat untuk pulih.

 Dekati pasien dengan ramah dan penuh perhatian, ambil keuntungan dari kegiatan yang dapat diajarkan.
Rasional : membuat klien merasa lebih berarti dan dihargai.

a) Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan keterbatasan kognitif, tidak mengenal informasi dan kurang mengingat ditandai oleh memintanya informasi, ketidak-adekuatannya mengikuti instruksi.
Tujuan : pasien mengutarakan pemahaman tentang kondisi, efek prosedur dan proses pengobatan.
Kriteria Hasil : - melakukan prosedur yang diperlukan dan menjelaskan alasan dari suatu tindakan.
- memulai perubahan gaya hidup yang diperlukan dan ikut serta dalam regimen perawatan.
Intervensi / Implementasi :
 Kaji tingkat pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakitnya.
Rasional : megetahui seberapa jauh pengalaman dan pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakitnya.
 Berikan penjelasan pada klien tentang penyakitnya dan kondisinya sekarang.
Rasional : dengan mengetahui penyakit dan kondisinya sekarang, klien dan keluarganya akan merasa tenang dan mengurangi rasa cemas.
 Diskusikan penyebab individual dari sakit kepala bila diketahui.
Rasional : untuk mengurangi kecemasan klien serta menambah pengetahuan klien tetang penyakitnya.
 Minta klien dan keluarga mengulangi kembali tentang materi yang telah diberikan.
Rasional : mengetahui seberapa jauh pemahaman klien dan keluarga serta menilai keberhasilan dari tindakan yang dilakukan.


 Diskusikan mengenai pentingnya posisi atau letak tubuh yang normal
Rasional : agar klien mampu melakukan dan merubah posisi/letak tubuh yang kurang baik.
 Anjurkan pasien untuk selalu memperhatikan sakit kepala yang dialaminya dan faktor-faktor yang berhubungan.
Rasional : dengan memperhatikan faktor yang berhubungan klien dapat mengurangi sakit kepala sendiri dengan tindakan sederhana, seperti berbaring, beristirahat pada saat serangan.

2.8.4. Evaluasi
Evaluasi adalah perbandingan yang sistemik atau terencana tentang kesehatan pasien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara berkesinambungan, dengan melibatkan pasien, keluarga dan tenaga kesehatan lainnya. (Carpenito, 1999:28)
Tujuan Pemulangan pada vertigo adalah :
a. Nyeri dapat dihilangkan atau diatasi.
b. Perubahan gaya hidup atau perilaku untuk mengontrol atau mencegah kekambuhan.
c. Memahami kebutuhan atau kondisi proses penyakit dan kebutuhan terapeutik.



DAFTAR PUSTAKA


1. Lynda Juall carpernito, Rencana Asuhan keperawatan dan dokumentasi keperawatan, Diagnosis Keperawatan dan Masalah Kolaboratif, ed. 2, EGC, Jakarta, 1999.
2. Marilynn E. Doenges, Rencana Asuhan Keperawatan pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian pasien, ed.3, EGC, Jakarta, 1999.
3. http://www.kalbefarma.com/files/cdk/files/14415TerapiAkupunkturuntukVertigo.pdf/144_15TerapiAkupunkturuntukVertigo.html
4. Kang L S,. Pengobatan Vertigo dengan Akupunktur, Cermin Dunia Kedokteran No. 144, Jakarta, 2004.

ASKEP BLADDER NEOPLASMA

BLADER BEOPLASMA


➢ Sebagian besar tumbuh dalam lumen kandung kemih.

➢ Cancer tersering pada saluran kemih.

➢ Jumlah 3 % dari semua kematian karena kanker

➢ Sering pada usia 50 – 70 tahun

➢ Laki-laki 2 – 3 kali dari wanita





FAKTOR RESIKO

➢ Paparan dari sigaret rokok (mayor)

➢ Radiasi pelvis, penggunaan siclophosphamide, Kronik sistitis, batu buli-buli





PENGKAJIAN

· Tanyakan klien tentang perubahan dalam urinase, catat adanya perubahan warna, frekuensi dan jumlah urine

· Hematuri disertai nyeri merupakan tanda pertama kanker blader, biasanya intermittent yang mana sering menyebabkan hambatan dalam mencari pelayanan diagnostik.

· Akibat perkembangan penyakit klien mengalami iritable blader dengan disuria. Akhirnya gross hematuria, obstruksi atau vistula mendorong klien mencari pengobatan.





PENGKAJIAN DIAGNOSTIK

· Urinalisis menunjukkan adanya darah dalam urine.

· Sistoscopy dikerjakan untuk melihat tumor secara langsung dan untuk biopsi.

· Sitologi.

· IVP mengevaluasi kandung kemih, uriter dan ginjal.

NURSING INTERVENSI

Resiko tinggi injury berhubungan dengan radiasi terapi dan kemoterapi .
Kriteria:

Klien tidak berkembang dengan masalah yang berhubungan dengan terapi radiasi dan kemoterapi yang ditandai dengan tidakadanya sistitis hemoragik

Intervensi :

➢ Pemberian anti spasmodik

➢ Peningkatan asupan cairan klien

➢ Pemberian antiseptik traktus urinarius untuk sistitis.

➢ Klien dengan proctitis memerlukan diet rendah serat dan agen untuk menurunkan motilitas usus




Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan pemeriksaan diagnostik, pembedahan dan diversi urine
Kriteria:

Klien mengerti tentang pemeriksaan diagnostik, pembedahan dan perawatan diversi urine ditandai dengan pernyataan klien dan kemampuan demonstrasi terhadap perawatannya.

Intervensi :

➢ Persiapan preop klien yang mengalami diversi urine.

➢ Pendidikan mengenai diversi urine.

➢ Mendorong penerimaan terhadap fakta dan hasil eliminasi urine melalui kulit rektum atau stoma khusus.

➢ Persiapan fisik dan emosi secara umum.

➢ Perlu perhatikan saluran cerna : non residu diet untuk beberapa hari, sterilisasi usus, enema atau katartic.

➢ Seleksi klien sebelum pemasangan stoma

➢ Sarankan klien untuk mencegah kontak urine dengan kulit, untuk mencegah iritasi kulit akibat diversi urine.

➢ Bersihkan stoma dengan sabun, air lalu dikeringkan pada setiap penggantian kantong urine.





Gangguan eliminasi urine (disuria ) berhubungan dengan adanya tumor.
Kriteria:

Klien akan terdiagnosis dini untuk mengeliminasi dysuria.





Intervensi :

➢ pemasangan indwelling kateter.

➢ CBI untuk mencegah blood clot

➢ Intervensi pada TUR – P (intek cairan, analgesik dan antispasmodik seperlunya)





4. Gangguan harga diri dan body image

Perubahan route aliran dan miksi akan merubah self image meliputi perubahan emosi, Psikososial dan reaksi persepsi

Kreteria :

Klien akan mempunyai konsep diri, body image dan self esteem yang normal setelah Diversi urine.

Intervensi :

➢ Konseling preoperasi : perubahan anatomi fisiologi dan kemungkinan afeknya Pada klien

➢ Konseling cara mempertahankan gaya hidup

➢ Bantu klien mencari stoma dan menerimanya sebagai bagian hidupnya

5. INJURI, HIGH RISK bd. Komplikasi post op (perdarahan, paralitik illeus, iskemic stoma, bloking kateter urethral

Kriteria :

Klien tak akan mengalami komplikasi post op ditandai tanda vital normal, suara bising usus aktif dalam 3 – 4 jam post operasi, stoma merah muda, produksi urine 30 - 60 ml / jam.

Intervensi :

➢ Monetor rurin tanda vital

➢ Inspeksi insisi

➢ Hubungan nefrostomi tube pada bed side drainage

➢ Jaga sistem drainage tertutup

➢ Jaga patensi tube drainage untuk mencegah obstruksi

Intervensi postop diversi secara umum

➢ Ukur output urine setiap jam / 24 jam pertama, selanjutnya setiap 8 jam

➢ Check kebocoran ostomy back dan kulit terhadap iritasi tiap 4 jam, kemudian 8 jam

➢ Inspeksi stoma tiap jam / 24 jam post op

➢ Catat ukuran stoma, bentuk dan warna. Warna sianotic stoma, insufisiensi supply darah

➢ Penyebab insufisiensi : tehnik pembedahan, pemasangan plate yang terlalu kecil

➢ Periksa tanda peritonitis akibat kebocoran anastomis

➢ Observasi perdarahan





6. Skin integrity, High Risk impaired b.d iritasi periostomal.

Kriteria :

Klien tidak akan berkembang pada gangguan integritas kulit, atau iritasi periotomal yang ditandai kulit intact dan bersih

Intervensi :

· Check pH urin

· Check kantong urine terhadap kebocoran dan apakan kulit sensitif terhadap bahan tersebut

· Ganti kantong selama tidak bocor (terlalu sering diganti menyebabkan iritasi)

· Selama kantong diganti biarkan kontak dengan udara sebanyak mungkit

· Berikan nystatin pada sekitar stoma